Opini
Uang Panai Menjelang Pilkada: Antara Tradisi dan Politik
Seiring dengan berjalannya waktu, uang panai kerap dianggap sebagai simbol status sosial yang berpotensi menimbulkan beban bagi pihak calon pengantin
Masalah ini semakin diperparah oleh sikap sebagian pemilih yang menganggap bahwa suara mereka bisa “dijual” kepada kandidat yang mampu memberikan imbalan finansial atau materi tertentu.
Fenomena politik uang ini menjadi penghambat utama dalam menciptakan demokrasi yang sehat, di mana pemilih seharusnya memilih calon pemimpin berdasarkan visi, misi, dan integritas, bukan berdasarkan iming-iming materi.
Dalam tradisi Bugis-Makassar, uang panai seharusnya bukan hanya tentang besaran nominal yang diberikan, melainkan tentang keseriusan dan komitmen seorang pria untuk membangun rumah tangga yang harmonis.
Demikian pula dalam Pilkada, yang seharusnya menjadi perhatian utama bukanlah seberapa banyak dana kampanye yang dikeluarkan oleh calon, tetapi seberapa besar komitmen dan kemampuan calon tersebut untuk memimpin dan membawa perubahan positif bagi masyarakat.
Sayangnya, dalam praktiknya, tidak sedikit calon kepala daerah yang lebih fokus pada pencitraan dan penggalangan dana daripada pada pengembangan program-program yang konkret dan berkelanjutan.
Fenomena ini sering kali didorong oleh tekanan politik dan ekspektasi masyarakat yang cenderung materialistis, mirip dengan bagaimana uang panai yang berlebihan dapat
menciptakan ekspektasi yang tidak realistis dalam sebuah pernikahan.
Dalam menghadapi Pilkada, masyarakat perlu belajar dari filosofi uang panai yang sebenarnya, yaitu bahwa nilai seseorang tidak diukur dari seberapa besar nominal yang diberikan, tetapi dari kesungguhan dan tanggung jawabnya.
Sebagai pemilih, masyarakat harus bersikap kritis dan tidak mudah tergoda oleh janji-janji politik yang hanya bersifat sementara.
Pemilih harus melihat jauh ke depan, menilai calon pemimpin berdasarkan kualitas, integritas, dan program kerja yang ditawarkan.
Jika pemilih hanya fokus pada “uang panai” politik yang ditawarkan oleh kandidat, maka hasil Pilkada tidak akan melahirkan pemimpin yang mampu membawa perubahan yang berarti.
Pemimpin yang terpilih hanya akan sibuk dengan agenda pengembalian modal politik mereka, bukan dengan upaya memajukan daerah dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.