Opini
Uang Panai Menjelang Pilkada: Antara Tradisi dan Politik
Seiring dengan berjalannya waktu, uang panai kerap dianggap sebagai simbol status sosial yang berpotensi menimbulkan beban bagi pihak calon pengantin
Oleh: Abd. Bashir Fatmal
Mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - DALAM budaya Bugis-Makassar, uang panai adalah tradisi yang lekat dengan prosesi pernikahan.
Uang panai merupakan sejumlah uang atau materi yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada keluarga calon mempelai wanita sebagai tanda keseriusan dan kemampuan finansialnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, uang panai kerap dianggap sebagai simbol status sosial yang berpotensi menimbulkan beban bagi pihak calon pengantin pria.
Lalu, apa hubungannya dengan Pilkada? Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada), konsep uang panai ini dapat menjadi analogi untuk memahami dinamika politik yang sarat dengan praktik-praktik penggalangan dukungan.
Menjelang Pilkada, para calon pemimpin daerah mulai berlomba-lomba untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Mereka menggunakan berbagai strategi kampanye, termasuk penggalangan massa, janji-janji politik, dan tak jarang, praktik politik uang.
Dalam konteks ini, fenomena uang panai dapat dijadikan analogi untuk menggambarkan bagaimana seorang calon kepala daerah perlu “mempersiapkan mahar” politik guna mendapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat.
Seperti dalam tradisi uang panai, di mana besarnya jumlah yang diberikan menjadi tolak ukur kesungguhan calon mempelai pria, dalam Pilkada, besarnya “modal” politik yang dimiliki seorang kandidat juga sering kali menjadi penentu kelayakannya di mata para pemilih.
Modal ini tidak hanya berupa finansial, tetapi juga jaringan kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki kandidat.
Sayangnya, fenomena ini kerap menimbulkan celah bagi terjadinya praktik politik uang, di mana dukungan diberikan bukan berdasarkan kualitas dan integritas calon, melainkan berdasarkan besaran “uang panai” yang mereka keluarkan.
Sebagaimana dalam konteks pernikahan, di mana uang panai sering kali menjadi beban berat bagi calon mempelai pria, dalam Pilkada, biaya politik yang harus dikeluarkan oleh seorang kandidat juga bisa menjadi tantangan yang sangat besar.
Para kandidat sering kali terpaksa mengeluarkan biaya besar untuk kampanye, biaya pencitraan, serta penggalangan dukungan.
Akibatnya, setelah terpilih, mereka akan berusaha mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan dengan berbagai cara, yang tak jarang justru berujung pada praktik korupsi.
Masalah ini semakin diperparah oleh sikap sebagian pemilih yang menganggap bahwa suara mereka bisa “dijual” kepada kandidat yang mampu memberikan imbalan finansial atau materi tertentu.
Fenomena politik uang ini menjadi penghambat utama dalam menciptakan demokrasi yang sehat, di mana pemilih seharusnya memilih calon pemimpin berdasarkan visi, misi, dan integritas, bukan berdasarkan iming-iming materi.
Dalam tradisi Bugis-Makassar, uang panai seharusnya bukan hanya tentang besaran nominal yang diberikan, melainkan tentang keseriusan dan komitmen seorang pria untuk membangun rumah tangga yang harmonis.
Demikian pula dalam Pilkada, yang seharusnya menjadi perhatian utama bukanlah seberapa banyak dana kampanye yang dikeluarkan oleh calon, tetapi seberapa besar komitmen dan kemampuan calon tersebut untuk memimpin dan membawa perubahan positif bagi masyarakat.
Sayangnya, dalam praktiknya, tidak sedikit calon kepala daerah yang lebih fokus pada pencitraan dan penggalangan dana daripada pada pengembangan program-program yang konkret dan berkelanjutan.
Fenomena ini sering kali didorong oleh tekanan politik dan ekspektasi masyarakat yang cenderung materialistis, mirip dengan bagaimana uang panai yang berlebihan dapat
menciptakan ekspektasi yang tidak realistis dalam sebuah pernikahan.
Dalam menghadapi Pilkada, masyarakat perlu belajar dari filosofi uang panai yang sebenarnya, yaitu bahwa nilai seseorang tidak diukur dari seberapa besar nominal yang diberikan, tetapi dari kesungguhan dan tanggung jawabnya.
Sebagai pemilih, masyarakat harus bersikap kritis dan tidak mudah tergoda oleh janji-janji politik yang hanya bersifat sementara.
Pemilih harus melihat jauh ke depan, menilai calon pemimpin berdasarkan kualitas, integritas, dan program kerja yang ditawarkan.
Jika pemilih hanya fokus pada “uang panai” politik yang ditawarkan oleh kandidat, maka hasil Pilkada tidak akan melahirkan pemimpin yang mampu membawa perubahan yang berarti.
Pemimpin yang terpilih hanya akan sibuk dengan agenda pengembalian modal politik mereka, bukan dengan upaya memajukan daerah dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.