Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Klakson

Kampanye

Bila kreditor telat membayar utangnya, maka sanksipun menunggunya dan hukumlah mengikat sanksi itu.

Editor: Sudirman
DOK PRIBADI
Sekretaris Umum Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU Sulsel, Abdul Karim 

Didepan para hadirin, kontestan dan juru kampanye berpidato seraya menjanjikan. Hadirin tak faham seutuhnya apa sebenarnya isi pidato yang dikampanyekan itu. 

Kita simak, kampanye telah menyebarkan harapan, janji, dan tekad baik. Tetapi rakyat seringkali gagal yakin akan semua itu.

Sebab keyakinan tak pernah terbit dari ceracau berbusa. Keyakinanpun tak seutuhnya terbit dengan pemicu argumentasi berapi-api.

Kita selalu yakin dengan bukti masa lalu. Kita yakin pada sejumlah pemikir abad klasik hingga masa modern sebab ada bukti karya yang ditorehkan. 

Kita yakin akan kebaikan seseorang lantaran moral tang baik telah dipraktekkannya.

Bahkan, barangkali kita yakin akan agama sebab ada kitab suci sebagai bukti petunjukNYA. Artinya, keyakinan tak pernah tumbuh dari ruang gersang tak berbekas.

Dengan itu, keyakinan sesungguhnya tak berpaut dengan hari ini, atau esok. Tetapi keyakinan tumbuh karena hari kemarin yang berbekas. 

Keyakinan dengan demikian tak berkait dengan masa akan datang, tetapi ia seringkali tumbuh karena pengalaman masa silam.

Persoalannya, adakah bakas hasil kampanye masa lampau yang menancap disanubari warga saat ini? Inilah persoalan yang tak dapat dipertaruhkan hingga rakyat begitu susah yakin dan percaya terhadap kampanye politik kita. 

Tetapi aktor politik kita tak pernah risau dengan itu semua. Mereka terus menerus berkampanye hingga tenggorokan mereka kering kerontang.

Yang mereka fikirkan kampanye sebagai prosedur haruslah mampu menghegemony warga untuk memilih kontestannya.

Mereka optimis bahwa kampanye yang penuh kerumunan akan menghasilkan suara signifikan. Instrumen untuk memastikan itu, seringkali berbentuk penyuapan dilapis warga

Praktik itu sesungguhnya menegaskan bahwa dibalik kampanye ada hasrat kekuasaan tahta yang wajib diraih.

Dan nafsu tahta kekuasaan seringnya berwujud keserakahan. Maka politik kita tak pernah benar-benar ampuh menghentikan keserakahan. 

Kita tahu keserakahan tak pernah menyelamatkan demokrasi. Ia justeru mala bagi demokrasi.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved