Kolom Andi Suruji
KOLOM ANDI SURUJI: Pinjam Mulut Faisal Basri
Apa boleh buat. Risiko harus diambil. Menunggu keputusan rapat, koran telat cetak, terlambat sampai di tangan pembaca. Tetapi apa kata dunia ....
Oleh: Andi Suruji
Pemimpin Umum Tribun Timur
TRIBUN-TIMUR.COM - Terkejut saya membaca berita Tribunnews, media pertama yang melaporkan berita kepergian Bang Faisal, panggilan akrab kami kepada ekonom pemberani ungkap fakta, Faisal Basri (65), Kamis (5/9/2024).
Tidak banyak ekonom yang bersikap seperti dia. Berani mengungkap fakta kebenaran. Tanpa rasa takut sedikit pun bicara kebenaran dengan bahasa sederhana yang lurus-lurus saja. Rakyat Indonesia kehilangan ekonom pembela rakyat.
Tanpa tedeng aling-aling mengkritik pemerintah. Bahkan menuding lansung nama pejabat, sampai presiden sekalipun kalau ugal-ugalan. Podcast terakhirnya yang saya lihat beredar di medsos mengenai korupsi ekspor nikel yang menuding langsung nama-nama pejabat.
Tetapi ia seorang gentlement. Tidak malu-malu juga mengapresiasi langkah atau kebijakan-kebijakan pemerintah yang memang betul-betul berpihak pada kepentingan rakyat semata.
Sewaktu saya masih wartawan ekonomi Kompas, saya banyak belajar dari dia cara membaca, menginterpretasi, memaknai, mengungkapkan data-data ekonomi melalui tulisan yang bernas, concise, bermakna dan bertenaga.
Laptopnya penuh data yang luar biasa. Data valid semua. Ia tidak pelit membagi ke kami di Kompas. Dengan segudang data yang dimilikinya, ia bisa bicara seenaknya.
Ia pernah menjadi moderator tetap Diskusi Ahli Ekonomi Kompas. Sebuah forum yang menghimpun ekonom-ekonom utama dari berbagai perguruan tinggi, plus praktisi.
Sejumlah anggota forum ini tercatat di kemudian hari menjadi menteri. Bahkan ada tiga anggota atau peserta tidak tetapnya, yakni Hamzah Haz, Jusuf Kalla, dan Boediono menjadi Wakil Presiden.
Dengan data dan isunya, diskusi itu selalu bertenaga. Diskusi ekonomi yang biasanya membosankan dan bikin ngantuk, menjadi ramai dan bersemangat.
Kami yang harus menuliskan dan merangkum diskusi itu dalam beberapa keping tulisan untuk Kompas cetak, kadang justru "keder". Antara mengungkap data secara telanjang (as it is) dan "cara Kompas" yang harus memenuhi unsur-unsur "jurnalisme makna" dokrin Jakob Oetama, pendiri Kompas.
Ada satu pengalaman menarik saya selaku Kepala Desk Ekonomi Kompas dalam berhubungan dengan Bang Faisal selaku ekonom dan nara sumber. By the way, Faisal Basri juga salah satu penulis tetap kolom Analisis Ekonomi Kompas yang terbit setiap senin. Sebelumnya Kwik Kian Gie.
Pada era kepemimpinan nasional SBY-JK pemerintah menanggung beban subsidi bahan bakar minyak yang luar biasa besar dan berat bagi APBN. Boncos kata anak milenial. Karena itu pemerintah hendak menaikkan harga BBM bersubsidi.
Rapat antara pemerintah yang dipimpin Menteri Keuangan Sri Mulyani dan DPR di parlemen berlangsung alot. Hingga larut malam, bahkan dini hari. Berhari-hari.
Pada rapat terakhir untuk mengambil keputusan penetapan harga baru BBM bersubsidi yang berlangsung sangat alot, sebagai Kepala Desk Ekonomi, pantat saya benar-benar sudah panas dikejar deadline. Sudah lewat. Mesin cetak sudah dipanasi, tetapi keputusan belum dilaporkan reporter.
Apa boleh buat. Risiko harus diambil. Menunggu keputusan rapat, koran telat cetak, terlambat sampai di tangan pembaca. Tetapi apa kata dunia (pembaca) jika esok pagi mereka tidak menemukan berita keputusan rapat harga BBM.
Sialnya lagi reporter hanya mengirim data. Saya harus membaca ulang, menyimak dan memaknainya. Terkejut, di luar ekspektasi. Saya tidak percaya data itu. Mungkin reporter saya keliru.
Saya telpon Menkeu Sri Mulyani. Dia masih di mobil dalam perjalanan pulang ke rumah habis rapat di DPR. Saya mendapat konfirmasi sekaligus verifikasi. Akurat laporan reporter saya.
Harga baru minyak tanah ternyata naik lebih dari 100 persen, lebih dua kali lipat dari harga lama. Gila ini, mencekik rakyat. Tetapi saya tdak mungkin menulis itu. Dan kalau judul datar-datar saja, semua orang sudah tahu juga dari tv dan online.
Saya telpon Faisal Basri semoga belum tidur. Telepon direspon. "Bang, udah tahu keputusan harga BBM?"
"Sudah," katanya.
"Pemerintah keterlaluan ini Bang?"
"Iya kebangetan," katanya.
Itulah judul Kompas cetak esoknya. "Faisal Basri : Pemerintah Keterlaluan". Dalam istilah kami para jurnalis, ini teknik "pinjam mulut"
Heboh berita itu. Andai jaman sosmed, pasti viral seviral-viralnya. Saya masih tidur, capek karena ketegangan semalam, dibangunkan istri. Pak Jakob Oetama menelpon, katanya.
Saya tarik nafas, mengumpulkan nyawa, mengatur nafas. Minum air dulu, baru merespon Pak Jakob Oetama.
"Bung Andi," suara seraknya serasa menggelegar di kepala saya melalui telinga dan menggetarkan sekujur tubuh. "Capek ya...."
"Iya Pak, Tegang semalam menunggu keputusan," kata saya.
"Judul kita terlalu keras ya. Bung Andi editornya ya. Apa respon Pak JK?, Pak SBY pasti ndak nyaman itu sama kita," katanya.
"Saya belum ditelepon Pak. Tapi biasalah Pak, kalau Pak JK dikritik pasti beliau terima."
Belakangan ketahuan, pihak pemerintah dalam rapat itu memang diremote oleh Wapres JK. Dan ternyata SBY pun tidak tahu kenaikan harga minyak tanah yang "gila-gilaan" itu.
Menurut cerita JK, Pak SBY amat terkejut ketika dilapori kenaikan harga minyak tanah. "Terangkat pantatnya dari kursi," cerita JK.
"Tapi itu keputusan adil. Subsidi lebih besar dinikmati orang yang salah, bukan rakyat miskin. Karena itu ada program bantuan langsung tunai, program konversi minyak tanah ke gas, lebih murah," jelas JK.
Melalui email dan pesan suara telpon yang masuk ke kontak center Kompas umumnya memuji berita itu. Hanya Kompas yang punya hati nurani menyuarakan jeritan hati nurani rakyat. Itu salah satunya.
Selamat Jalan Bang Faisal. Terima kasih pencerahanmu. Istirahatlah dari perjuangan panjang mengubah mentalitas bangsa yang korup ini. Seperti judul bukumu "Kita Harus Berubah" yang saya tuliskan pengantarnya, sekian tahun silam.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.