Opini
Dilema Defisit Anggaran Negara
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan Republik Indonesia bahkan menyebut secara lugas jika penerimaan negara tidak akan mampu mencapai target.
Jika membuka kembali data rilis yang dikeluarkan oleh Kemenkeu RI, penerimaan perpajakan pada semester I-2024 faktanya berhasil mencapai Rp.1.028 triliun atau hanya 44,5 persen dari target sementara semester I - 2023 yang mencapai 56, 4 persen dari target utama. (Kemenkeu RI, 2024).
Mengapa pemerintah sulit mencapai target besar penerimaan negara? Pertanyaan mendasar ini jelas menjadi ekspresi kegelisahan pengamat ekonomi saat ini, karena faktanya anggaran belanja negara justru membengkak dan melampaui target yang disusun dalam APBN 2024.
Dalam bayang proyeksi Kemenkeu RI, belanja pemerintah pada 2024 diperkirakan mencapai Rp3.412,2 triliun atau 102,6 persen dari target awal sebesar Rp 3.325,1triliun.
Namun, penerimaan perpajakan mengalami kontraksi sepanjang semester I -2024.
Penerimaan lesu diantaranya disebabkan merosotnya setoran Pajak Penghasilan (PPh) perusahaan – perusahaan berbasis komoditas yang terkena dampak serius penurunan harga komoditas besar.
Dalam dimensi lain, kebutuhan belanja negara masih sangat besar. Karena sepanjang semester I - 2024, pemerintah nyatanya sudah membelanjakan slot APBN untuk banyak kebutuhan biaya pegawai yang dibayarkan setiap tahun serta program layanan publik dalam bidang pendidikan dan Kesehatan yang rutin dibayarkan.
Disisi lain, anggaran besar yang digelontorkan demi suksesnya hajatan demokrasi besar Indonesia yakni Pemilihan Umum (Pemilu) pada bulan Februari 2024 nyatanya juga sudah membebani beban anggaran negara secara nyata.
Apalagi gelontoran anggaran pemilu 2024 ini juga didekatkan dengan program bantuan sosial (bansos) yang dilaksanakan awal tahun dalam mitigasi dampak El Nino dan perubahan iklim yang secara usulan telah disetujui oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setahun sebelumnya.
Hadirnya beban anggaran yang sangat besar dan dikeluarkan dalam tempo waktu berdekatan jelas menjadi beban pengeluaran yang beresiko karena ini tak selaras dengan serapan penerimaan negara.
Munculnya besaran pengeluaran dalam jumlah besar pada awal tahun dengan sistem waktu pengeluaran yang sangat dekat tanpa ada bantalan pengganti serapan penerimaan negara yang memadai jelas memberi tekanan tinggi bagi pemerintah untuk dapat secepatnya merevisi target defisit anggaran dari awalnya 2,29 persen menjadi 2,7 persen
dari produk domestik bruto (PDB) yang mengalami kenaikan Rp80,8 triliun dari rencana awal sebesar Rp 522,8 triliun menjadi Rp609,7 triliun.
Dalam posisi inilah banyak kritik disampaikan para pengamat ekonomi Indonesia karena situasi ini menciptakan defisit tinggi yang terjadi akibat kombinasi pendapatan negara yang terkoreksi dan tidak mencapai target, serta belanja negara yang mengalami kenaikan secara besar.
Jika opsi menambal defisit anggaran dengan cara mengeluarkan kas dana cadangan Rp100 triliun dalam bentuk Saldo Anggaran Lebih (SAL) untuk kebutuhan penyelenggaran kegiatan jelang sisa tahun ini, maka perlu dikritisi apakah ini menciptakan efektivitas tinggi yang mampu memberi dampak ekor atau stimulan secara berkelanjutan.
Karena semestinya pengeluaran besar negara dalam perhelatan pemilu, bansos dan pengeluaran lainnya harus tetap diimbangi dengan langkah maksimalisasi hasil penyerapan program pembangunan yang tinggi pula.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya pemerintah seolah terdesak oleh situasi kejar tayang dalam hal perpacuan kerja program pembangunan raksasa yang belum tuntas seperti halnya pembangunan IbuKota Negara (IKN).
Menyikapi ini, pemerintah sudah saatnya secara sadar diri untuk fokus dalam mampu memprioritaskan kebutuhan belanja mana yang utama.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.