Opini
Kurikulum Ramadan
Dan seluruh ahli pendidikan sebulat suara bahwa setiap kurikulum harus termuat di dalamnya, tujuan, program, proses dan evaluasi.
Demikian pula ibadah-ibadah lainnya, seperti tilawah al-Qur’an yang memiliki nilai khusus pada bulan Ramadan, sebab dikatakan, sebagai syahrul-qur’ān, atau ‘bulan al-qur’an’ sebab di dalamnya al-Qur’an diturunkan.
Sebaliknya, untunglah mereka yang mengoptimakan Ramadan dengan membaca, memahami, merenungi, dan berupaya mengamalkan isinya sesuai kapasitas dan kemampuannya.
Sebaliknya, merugilah orang yang melewatkan Ramadan tanpa menggunakan momentum istimewa itu sebaik mungkin.
Lebih rugi lagi, jika para dai, mubalig, ustadz, guru, bahkan ulama yang hanya sibuk mengajar tapi tidak memiliki waktu bagi dirinya untuk membaca dan belajar al-Qur’an, laksana ‘lilin menerangi orang lain tapi mencelakai dirinya’.
Orang-orang berlomba mengamalkan apa yang mereka ajarkan, tapi yang mengajar tidak mampu melakukan apa yang mereka ajarkan karena terlalu sibuk mengajar dan mengajak orang lain.
Padahal guru yang baik adalah yang mampu menjadi contoh dalam mengamalkan apa yang ia telah ajarkan.
Dengan mengoptimalkan segala bentuk ibadah yang ada pada bulan Ramadan ini, memahami segenap kurikulum dan materi ajar, serta melawati rangkaian proses pembelajarana dengan mengamalkan apa yang telah dipelajari, maka hasil evaluasi akhirnya, insya Allah tidak akan mengecewakan.
Secara umum, konsep hasil sangat tergantung dari pelaksanaan proses.
Insan Bertakwa
Dalam al-Qur’an, kata ‘takwa’ dengan makna taqwā dulang sebanyak 89 kali, kata la’allakum tattaqūn diulang sebanyak 19 kali, salah satunya terdapat dalam ayat perintah berpuasa pada bulan Ramadhan (Al-Baqarah[2]: 183), selain itu taqwā dikaitkan dengan berbagai jenis amal shaleh.
Pada prinsipnya taqwā adalah perpaduan dari lima rukun Islam dan enam rukun iman serta dua rukun ihsan.
Karena itu, taqwā dibuka dengan pintu taubat dan tazkiyah--penyucian jiwa dari segala bentuk dosa—lalu dikawal dengan penuh perjuangan dilandasi keikhlasan dan ketaatan.
Taat dan ikhlas menurut Abu Bakar as-Shiddiq dan Utsman bin Affan merupakan pelaksanaan tauhid yang murni dengan jalan beribadah kepada Allah semata dan bebas dari segala bentuk syirik.
Sementara Umar bin Al-Khathab memaknai sebagai ‘setia di jalan ketaatan’, dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa taat dan ikhlas dimaknasi sebagai ‘tekun beribadah’ dan Ibnu Abbas memaknai dengan, menghidupkan sunnah dan membersihkan bid’ah’.
Jadi takwa adalah akumulasi dari nilai-nilai kebaikan dan kebajikan yang membahagiakan dan menyelamatkan, (Abu Taw Jieh, Jurnal Ramadan. Jakarta: Laznas DDII, 2014:207-208).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.