Opini
Gerakan Kultural Moderasi Beragama dan Tantangan Kebebebasan Beragama
Hal itu bahkan menjadi bagian dari awal sebuah kampanye panjang tentang moderasi beragama di Indonesia.
Pluralisme yang represif sendiri adalah istilah yang digunakan Prof. Greg Fealy dalam menjelaskan rekayasa sosial berskala besar yang dilakukan negara di masa kepemimpinan Presiden Jokowi dalam menekan kelompok Islamis (Jokowi in the Covid-19 Era: Repressive Pluralism, Dynasticism and the Overbearing State; 2020).
Maka tidak heran jika moderasi beragama diharapkan tidak menjadi sebuah konsep dan ideologi tertutup.
Sebagai sesuatu yang diyakini memiliki niat yang baik dan sejalan dengan warna keberagamaan di Indonesia, moderasi beragama hendaknya menjadi sebuah diskurus yang yang perlu untuk diperbincangkan agar supaya moderasi beragama berada pada jalurnya untuk membangun semangat keberagaman yang terbuka dan menghargai perbedaan.
Sebagaimana penjelasannya bahwa, moderasi beragama kemudian dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama (Moderasi Beragama,2019)
Gerakan Kultural Moderasi Beragama
Dalam buku Moderasi Beragama (2019) yang diterbitkan Kementerian Agama, disebutkan bahwa penguatan moderasi beragama ini dilakukan dengan tiga strategi utama, yakni: pertama, sosialisasi gagasan, pengetahuan, dan pemahaman tentang
moderasi beragama kepada seluruh lapisan masyarakat.
Kedua pelembagaan moderasi beragama ke dalam program dan kebijakan yang mengikat; dan ketiga, integrasi
rumusan moderasi beragama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Ketiga hal tersebut telah dilaksanakan oleh Pemerintah.
Hal tersebut terlihat jelas dari banyaknya kegiatan-kegaiata yang telah dilakukan oleh Kementerian Agama dan juga
berbagai bentuk lembaga yang dibentuk sebagai upaya menjadikan moderasi beragama semakin banyak dipahami oleh masyarakat.
Sebagai sesuatu yang baik, harapannya adalah moderasi beragama sebaiknya dibangun menjadi sebuah gerakan kultural.
Sebuah gerakan kesadaran bahwa moderasi beragama ini memang dibutuhkan dalam konteks keberagamaan di Indonesia.
Tentu berbeda jika moderasi beragama dilihat dan disebarkan sebagai sebuah gerakan dengan berbasis proyek.
Mereka yang terlibat dalam gerakan ini tentu saja hanya mereka yang mendapatkan jatah proyek tersebut.
Jika gagasan moderasi beragama terpaku pada gerakan berbasis proyek, tidak dilihat sebagai sebuah gerakan kultural, maka pembicaraan tentang moderasi beragama dikhawatirkan hanya berakhir pada ruang-ruang seminar ataupun training-training.
Lantas, bagaimana gagasan ini bisa sampai ke akar rumput.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.