Opini
Peringatan Akademisi Perguruan Tinggi untuk Jokowi dan Kepemerintahan
Dunia kampus prihatin dengan kondisi perpolitikan negeri ini menuju Pemilu Presiden 2024.
Oleh:
Aswar Hasan
Dosen Fisipol Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Seruan civitas akademika di sejumlah perguruan tinggi terus bergulir bagaikan gelombang bola salju yang kian membesar.
Tujuannya untuk menyelamatkan demokrasi yang semakin nyata di gerogoti demi kepentingan untuk berkuasa yang dilaksanakan dengan nir etika, memanipulasi dan mengangkangi hukum.
Dugaan penyalahgunaan kekuasaan hingga pelanggaran etika tersebut, dalam kontestasi politik di Pemilu 2024 dinilai sudah cukup menunjukkan menurunnya kualitas demokrasi.
Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, penulis kolom Catatan politik dan hukum Kompas, menulis;
“Sejumlah dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta (yang merupakan almamater Presiden Jokowi), mengeluarkan ”Petisi Bulaksumur”, kemudian sivitas akademika UII dan menyusul sejumlah kelompok masyarakat sipil di sejumlah kampus.
Petisi Bulaksumur, antara lain, mengingatkan Presiden Jokowi, yang juga lulusan Fakultas Kehutanan UGM, telah melakukan tindakan menyimpang dalam penyelenggaraan negara.
Sementara Rektor UII Yogyakarta Fathul Wahid menyebutkan, Indonesia darurat kenegarawanan.
Ada pesan sentral dan senada, yakni keprihatinan sebagian kampus atas kondisi perpolitikan negara.
Dunia kampus prihatin dengan kondisi perpolitikan negeri ini menuju Pemilu Presiden 2024.
Ada krisis keteladanan, krisis etika bernegara, krisis moralitas bangsa, krisis terhadap konstitusi.
Ada isu soal keberpihakan Presiden Jokowi terhadap pasangan calon tertentu. Sementara pada sisi lain, peringkat korupsi Indonesia anjlok cukup dalam.
Hampir tidak ada yang peduli dengan kondisi negeri ini. DPR diam. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sami mawon.
Kementerian pun sibuk mengklarifikasi.
Presiden Jokowi memberikan respons pendek.
”Kita hormati itu. Itu hak demokrasi.” (Kompas,3/2/2024).
Kondisi demokrasi tengah menurun yang ditandai dengan adanya dugaan penyalahgunaan kekuasaan dalam kontestasi politik hingga pelanggaran etika.
Hukum yang seharusnya jadi bintang pemandu justru digunakan untuk menjustifikasi dan melegitimasi proses-proses kebijakan politik, ekonomi, sosial, dan kebijakan lainnya yang bermasalah.
Hal ini karena adanya krisis kepemimpinan yang tidak beretika dan bermartabat (Kompas, 4/2/2024).
Terkait pemahaman dan komitmen demokrasi, kita pun perlu mengingat kembali pernyataan Presiden Jokowi saat debat capres tahun 2014, yang menyatakan; ”Demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya.”
Itulah pemahaman demokrrasi yang pernah disampaikan calon Presiden Jokowi saat mengikuti kontestasi Pilpres 2014.
Saat ini, aspirasi (suara) rakyat itu, disuarakan oleh civitas akademika, berhubung para wakil rakyat yang di DPR sudah (mungkin) tuli dan buta atas aspirasi keresahan rakyat yang seharusnya ia wakili.
Pertanyaannya, apakah Presiden Jokowi masih mendengar suara rakyat, dan masih ingat akan pemahaman dan komitmen tentang demokrasi?
Atau sudah lupa atau pura-pura lupa?
Atau ucapannya saat itu sebatas dibibir saja?
Semoga Presiden sewaktu mengucapkan tentang apa itu demokrasi, tidak sedang “berbohong”.
Atas bergemuruhnya arus desakan akademisi di perguruan tinggi tersebut Harian Media Indonesia menulis dalam editorialnya (2/2/2024.21WIB) yang berjudul; “Menyambut Perlawanan dari Kampus”.
Editorial itu, diantaranya menuliskan:
“ketika dunia kampus mulai bersikap dan bergerak maka negara memang sudah dalam situasi gawat darurat. Ada pula aksioma, tatkala sivitas akademika mulai melawan, berarti penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa sudah keterlaluan.
Itulah yang terjadi di negeri ini sekarang.
Setelah lama memilih diam, kampus sebagai institusi akhirnya bersuara lantang .
Sejumlah universitas ramai-ramai menyatakan keprihatinan dan menyerukan peringatan kepada penguasa.
Mereka satu frekuensi bahwa penguasa kepemerintahan sudah terlalu jauh menyimpang dari tugasnya.
Mereka civitas akademika itu, sepakat satu kata bahwa penguasa, sudah terlalu liar mengabaikan etika dan merusak demokrasi.
Jika kampus mulai bersikap, bergerak, dan melawan, itu sebuah keniscayaan.
Harus tegas kita katakan, demokrasi yang dengan susah payah dibangun bahkan harus ditebus dengan nyawa anak bangsa, kini sedang terancam hebat.
Situasi pun kian memburuk dengan semakin gencarnya distribusi beragam bantuan negara yang diarahkan ke penguatan dukungan kepada pasangan capres-cawapres tertentu.
Belum cukup, mobilisasi aparat negara tanpa malumalu lagi dipertontonkan di depan publik.
Semua itu merupakan penjajahan terhadap etika, moralitas, sekaligus menginjak-injak hukum dan konstitusi.
Celakanya lagi, peringatan dan seruan dari banyak kalangan, terlewati begitu saja.
Laksana anjing menggonggong, kapila terus berlalu.
Kritik dianggap angin lalu.
Pada konteks itulah, genderang perlawanan dari dunia kampus akhirnya ditabuh.
Hal itu bisa membangkitkan perlawanan yang lebih besar dari kalangan yang lebih banyak lagi.
Menyambut baik perlawanan itu, agar terjadi perbaikan adalah tugas kita semua, terkhusus bagi yang merasa perlu merawat komitmen dalam berkebangsaan.
Sebagai bangsa, kita pantang diam supaya demokrasi tidak benar-benar mati”.
Mewaspadai upaya mematikan demokrasi menjadi tanggung jawab kita semua. Betapa tidak, Profesor Harvard University Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, dalam karya risetnya; “How Democaries Die”, 2018.
Telah mengingatkan dengan berkata; ”democracies may die at the hand of presiden who subvert the very process that brougt then to power. (negara-negara demokrasi mungkin akan mati di tangan presiden yang menumbangkan proses yang membawa mereka ke tampuk kekuasaan. Wallahu a’ lam Bishshawabe.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.