Catatan Akademisi
Mengintip 'Panggung Belakang' Pentas Politik Pilpres 2024
Panggung perhelatan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 kian menarik dan dinamis, menyita perhatian bahkan hingga mengobok-obok psikologi publik.
Oleh: Rahmat Muhammad
Dosen Departemen Sosiolog Bidang Politik Unhas/KPS Magister Sosiologi FISIP Unhas
Panggung perhelatan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 kian menarik dan dinamis, menyita perhatian bahkan hingga mengobok-obok psikologi publik.
Kemilau sorotan peristiwa akrobatik setiap pasangan capres dan cawapres yang terpentas pada panggung politik menyajikan sejumlah peristiwa menarik yang terjadi di “panggung belakang”.
Inilah area di mana strategi dan taktik politik, intrik politik, loby-loby politik berlangsung sunyi senyap.
“Panggung belakang” Pilpres 2024 selalu menjadi sisi yang menarik untuk “diintip”.
Menariknya karena lewat “panggung belakang” ini kita akan mengetahui bagaimana para kandidat, tim suskes dan mesin partai politik beradu strategi dan taktik hingga membuka ruang-ruang loby untuk menjajal segala kemungkinan peluang untuk memenangkan pertarungan.
Meskipun masyarakat umum melihat mereka bersaing secara terbuka, kenyataannya, negosiasi politik yang alot dan lentur seringkali terjadi di balik layar.
Tentunya partai politik memiliki peran kunci dalam memainkan ritme dan dinamika politik yang disajikan pada pentas panggung politik.
Menentukan kawan dan lawan dalam membangun koalisi, menciptakan momentum hingga pada merumuskan strategi kampanye dan kemenangan.
Di area “panggung belakang” juga inilah strategi media dan komunikasi diracik dan dikemas sebelum naik pentas ke “panggung depan”.
Tim kreatif dan kampanye setiap pasangan capres dan cawapres berpacu bekerja keras memeras otak demi membangun citra positif bagi kandidatnya, mengkonstruksi narasi yang kira-kira laku dijual.
Sigap dalam merespons setiap isu yang berkembang, kemampuan merancang counter-narratives dengan cepat, cermat dan tepat untuk mempengaruhi opini publik, serta perang informasi di dunia maya pun menjadi bagian tak terpisahkan dari persiapan di area “panggung belakang”.
Di samping itu, relasi antar capres dan cawapres dengan elite politik dan konglomerat juga terjalin intens nan mesrah di “panggung belakang”.
Dukungan finansial dan jaringan politik yang solid dapat memberikan keunggulan signifikan kepada setiap cawapres.
Negosiasi bisnis politik dan politik bisnis di “panggung belakang” inilah memainkan peran dalam membentuk aliansi dan
memperkuat peluang kemenangan.
“Panggung belakang” Pilpres Indonesia 2024 mengisyaratkan bahwa lakon politik pada setiap pentas kontestasi melibatkan banyak aktor dan banyak cerita yang sesungguhnya menohok nurani.
Meskipun kita hanya melihat sebagian kecil dari gambaran tersebut, memahami peristiwa politik di balik layar membuka wawasan tentang bagaimana keputusan-keputusan besar diambil dan bagaimana masa depan negara kita didesain.
Ada dua peristiwa penting yang menarik kita “intip” lewat “panggung belakang” yang dipertontonkan di atas panggung pentas politik Pilpres 2024 beberapa pekan ini.
Yakni polemik putusan MK soal batasan usia capres dan cawapres serta undangan jamuan makan ketiga capres
oleh Presiden Jokowi di Istana Negara.
Dengan menggunakan perspektif teori dramaturgi Goffman, dapat kita pahami bahwa setiap tindakan dan peristiwa dalam politik adalah bagian dari pertunjukan sosial yang kompleks.
Sebagian besar dari apa yang kita saksikan hanyalah bagian dari keseluruhan pertunjukan, dan di area “panggung belakang” terdapat dinamika politik yang kompleks dan menarik kita “intip”.
Dengan demikian, menyaksikan lakon politik dengan lensa kacamata dramaturgi dapat membantu kita memahami lebih dalam tentang interaksi sosial, peran aktor, dan strategi komunikasi yang terjadi di panggung politik yang sesungguhnya.
Dalam konteks teori dramaturgi Erving Goffman, Pentas politik yang dipertontonkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutuskan batas umur minimal capres cawapres.
Serta peristiwa jamuan makan yang digelar Presiden Jokowi di Istana Negara dengan mengundang ketiga capres dapat dianalisis sebagai sebuah pertunjukan sosial yang melibatkan aktor, peran, serta “panggung belakang” yang sunyi senyap.
Lewat teorinya ini, Goffman memberitahukan kepada kita bahwa interaksi sosial dapat dimaknai sebagai sebuah lakon pertunjukan di mana individu berperan dalam menciptakan kesan yang sesuai denga apa yang ia inginkan.
Dalam konteks kasus putusan MK, panggung politik adalah ruang sidangnya, tempat di mana para hakim memainkan peran mereka dalam memutuskan batas umur minimal capres cawapres.
Di balik tirai atau "panggung belakang" tersebut, boleh jadi terjadi interaksi dan negosiasi yang senyap antara para hakim, ahli hukum, dan pihak terkait.
Para hakim berperan sebagai aktor utama yang harus mempertimbangkan aspek hukum, politik, dan publik dalam keputusan mereka.
Mereka berusaha menciptakan kesan objektivitas, keadilan, dan ketegasan dalam pertunjukan mereka di depan publik.
Sementara itu, peristiwa jamuan makan yang diadakan oleh Presiden Jokowi dengan mengundang ketiga capres juga merupakan sebuah pertunjukan politik yang menarik.
Dalam peristiwa ini, Presiden Jokowi berperan sebagai aktor yang mencoba memperlihatkan kedekatan dengan ketiga capres. Meskipun tampaknya hanya sebuah acara jamuan makan.
Namun di area “panggung belakang”, terdapat perencanaan strategis dan komunikasi politik yang dalam.
Setiap gerakan, kata-kata, dan ekspresi wajah para aktor mencerminkan upaya mereka untuk memperoleh dukungan publik.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.