Opini
Muhammadiyah, Persatuan Islam dan Kebebasan Beragama
PP Muhammadiyah mengirim delegasi untuk mengikuti dua pertemuan internasional di dua benua yang berbeda.
Dalam acara Konferensi BKPPI se-Timur Tengah di Aula Universitas Imam Khomeini, Qom tahun 2007, saat membuka konferensi, saya yang hadir dalam acara tersebut, mendengarkan langsung ia menegaskan, “Sunni dan Syi’ah adalah mazhab-mazhab yang legitimate dan sah dalam Islam.”
Begitupun dengan Prof. Dr. KH. Ahmad Syafii Maarif yang memimpin Muhammadiyah periode 1998-2005. Tokoh Muhammadiyah asal Minangkabau ini sangat getol menolak sektarianisme. Ia selalu menganjurkan umat Islam agar keluar dari sekat-sekat kelompok dan perpecahan di dalamnya.
Menurutnya, masyarakat selama ini didikte oleh kebencian yang mengoyak persaudaraan sesama. Karena itu berkali-kali ia menegaskan, hidupnya ia wakafkan untuk berikhtiar memutus mata rantai kebencian Sunni-Syiah.
Prof. K.H. Din Syamsuddin, M.A., Ph.D menjabat ketua umum PP Muhammadiyah 2005-2015 di tengah kebencian terhadap kelompok Syiah memuncak seiring terjadinya Arab Spring.
Isu sektarian dijadikan bahan bakar untuk semakin menyulut situasi politik di Timur Tengah yang memanas. Muhammadiyah di bawah Din Syamsuddin tetap konsisten.
Ia secara tegas menolak fatwa MUI Jatim tentang kesesatan Syiah. Ia berkata, “Atas dasar apa MUI Jatim mengeluarkan fatwa itu? Baik Sunni maupun Syi’ah adalah sama-sama muslim karena masih berada di lingkaran syahadat. Menurut kami, yang mempercayai syahadat itu otomatis Islam, apa pun mazhabnya.”
Mencermati Muhammadiyah yang semakin mengintensifkan kerjasama terutama bidang pendidikan dengan Iran, yang saat ini di bawah kepemimpinan Prof. Dr. KH. Haedar Natsir menunjukkan persatuan Sunni-Syiah yang diusung organisasi ini bukan isapan jempol belaka.
Muhammadiyah percaya, persatuan antar negara-negara Islam akan membawa manfaat sangat besar dibanding harus merawat kecurigaan dan kebencian satu sama lain.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.