Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Muhammadiyah, Persatuan Islam dan Kebebasan Beragama

PP Muhammadiyah mengirim delegasi untuk mengikuti dua pertemuan internasional di dua benua yang berbeda.

Editor: Hasriyani Latif
dok pribadi
Ismail Amin Kandidat Doktoral Universitas Internasional Almustafa Iran/Pengurus PCI Muhammadiyah - Iran 2023-2025. 

Dari dua forum internasional yang diikuti PP Muhammadiyah ini, jelas persyarikatan yang telah berusia lebih dari seabad ini masih konsisten pada garis perjuangan KH. Ahmad Dahlan, sang pendiri.

Muhammadiyah lahir di tengah kondisi umat Islam yang tidak memiliki persatuan dan kesatuan, serta saat itu umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme.

Mengusung slogan Islam berkemajuan, Muhammadiyah sampai hari ini sebagaimana cita-cita pendirinya memelopori kehadiran Islam yang berorientasi pada kemajuan dalam pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk beragama secara benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan.

Bagi aktivis Muhammadiyah, sebagaimana dijelaskan dalam situs resmi Muhammadiyah, Islam tidak hanya ditampilkan secara otentik dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang asli yakni Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan mengubah kehidupan manusia dari serba ketertinggalan menuju dunia kemajuan.

Mendorong Persatuan Sunni-Syiah

Dari sini, Muhammadiyah tidak pernah bermasalah dengan mazhab-mazhab dan kelompok Islam yang berbeda, bahkan cenderung mempersatukan.

Sebagai murid ideologis Jamaluddin al-Afghani, Kyai Dahlan percaya pada ide Pan-Islamisme, meski lebih membumikannya sesuai konteks masyarakat nusantara saat itu dan kekinian, Muhammadiyah menyesuaikannya dengan konteks keindonesiaan. Pan-Islamisme secara umum berarti solidaritas seluruh muslim di dunia internasional.

Ide ini mengajarkan agar semua umat Islam seluruh dunia bersatu, untuk membebaskan mereka dari perbudakan asing. Bersatu bukan berarti melebur dalam satu pemerintahan Islam. Umat Islam harus mempunyai satu pandangan hidup, apapun mazhabnya.

Dalam Rekomendasi Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, 2015, Muhammadiyah mendorong dialog intensif antara Sunni dengan Syiah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan komitmen dan membangun kesalingpahaman.

“Sunni dan Syiah memiliki sejarah kerjasama yang konstruktif dalam membangun peradaban Islam,” begitu bunyi rekomendasi tersebut.

Rekomendasi ini menegaskan bahwa meskipun ada perbedaan mendasar dan prinsipil antara Sunni dan Syiah bukan berarti pintu dialog telah tertutup. Muhammadiyah justru mendorong dialog intensif antara keduanya.

Dengan prinsip itu, sepanjang perjalanannya, Muhammadiyah dipimpin tokoh-tokoh yang terus mendorong persatuan Sunni-Syiah. Sebutlah diantaranya, Prof. Dr. Amien Rais.

Ia ketua umum Muhammadiyah periode 1995-1998. Ia adalah cendekiawan muslim Indonesia yang mengaku secara pemikiran banyak dipengaruhi oleh Ali Shariati, seorang intelektual Syiah asal Iran.

Amin Rais bahkan sampai mengenalkan pemikiran-pemikiran Ali Shariati di tanah air, terutama melalui buku Ali Shariati yang ia terjemahkan dengan judul: Tugas Cendekiawan Muslim.

“Dr. Ali Shariati adalah seorang muslim Syi’i. Sedangkan penerjemah adalah seorang muslim Sunni. Dorongan untuk menerjemahkan buku ini bukanlah untuk menawarkan percikan-percikan pemikiran Syi’ah di Indonesia. Bagi penerjemah, perbedaan Sunnah-Syi’ah adalah warisan historis kuno yang telah menyebabkan lemahnya umat Islam secara keseluruhan “, tulisnya pada kata pengantar buku tersebut.

Halaman
123
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved