Opini
Rempang Tanah Rakyat Melayu
Pulau rempang, kawasan ini menjadi perbincangan hangat di pelbagai media mainstream di negeri saat ini.
Oleh: Taufikurrahman
Mahasiswa Hukum Keluarga, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Makassar
Pulau rempang, kawasan ini menjadi perbincangan hangat di pelbagai media mainstream di negeri saat ini.
Kawasan yang disebut-sebut mendapatkan investasi proyek ambisius, Eco-City.
Yaitu pembangunan yang diperkirakan mampu mengangkat perekonimian warga di Pulau Rempang.
Rencana pembebasan lahan untuk pengembangan pulau rempang, disoroti oleh media karena banyaknya penolakan dari tubuh rakyat melayu rempang.
Relokasi pulau rempang, merupakan bukti bahwa, konflik agraria dinegeri ini masih belum terselesaikan, konflik yang menimbulkan ketidakadilan ditengah masyarakat.
Yang perlu diketahui bahwa, proses pembangunan kawasan ini nantinya akan di lakukan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tomy Winata.
Nilai investasi sebesar Rp381 triliun sampai dengan 2080, proyek ini targetnya bisa menyerap 306.000 tenaga kerja, angka yang membuat orang ‘mind blowing’ dengan agenda pelaksanaannya.
Kemudian, program yang diresmikan pada rabu (12/4/2023) ini.
Dulunya, adalah proyek yang sempat tertunda selama 18 tahun, karena adanya masalah pembebasan lahan.
Disisi lain, investasi yang pertama akan beroperasi dalam relokasi pulau rempang, yaitu pembangunan pabrik kaca dan panel surya terintegrasi milik Xinyi International Investment Limited dari china.
Dengan biaya investasinya sekitar US$11,5 miliar atau setara dengan Rp173,51 triliun (asumsi kurs Rp15.088 per dollar US$).
Komitmen ini didapat seusai presiden jokowi berkunjung ke china pada 2023 waktu lalu.
Menteri investasi Bahlil Lahdalia, mengatakan ‘’Oleh-oleh paling paten, hari ini presiden menyaksikan penandatanganan MuO antara pemerintah Indonesia dengan Xinyi, ini perusahaan terbesar didunia pemain kaca dengan market share kurang lebih 26 persen, ‘’kata bahlil melalui keterangan pers secara daring, jumat (28/7/2023).
Dan Inilah awal mula terjadinya gemuruh di tanah rempang, tanah melayu yang ramah, kini berubah wajah menjadi kepungan gas air mata dititik wilayah penolakan.
Imbasnya, anak-anak yang tidak bersalahpun, harus menghirup gas air mata yang sampai keruang-ruang tempatnya mencari ilmu.
Celotan penolakan dari rakyat melayu merupakan bukti, bahwa rencana relokasi tanah rempang bukanlah hal yang baik.
Karena mereka paham, bagaimana menjaga dan merawat tanah leluhurnya agar tidak dirongrong oleh para investor asing maupun aseng.
Kemudian rencana relokasi ini, kemungkinan besar akan terus berjalan sebagaimana batas waktu yang diberikan bahwa, sebelum tanggal 28 september pulau rempang harus kosong.
Rumah-rumah adat yang memiliki nilai kehidupan orang melayu, seakan terbayang roboh pada saat puluhan buldoser para investor itu datang membongkarnya.
Mereka khawatir akan kedatangan pabrik-pabrik besar itu nanti, dimana kotoran-kotorannya bisa melumpuhkan biota laut mereka, melihat kebanyakan penduduk pulau tersebut bertahan hidup dengan cara berlaut.
Asap ‘dapur pabrik’ yang mungkin bisa membunuh keluarga mereka secara perlahan, hingga pada ketakutan akan hilangnya, nilai-nilai adat yang lama melekat dalam kehidupanya.
Dengan rencana penggusuran yang membawa masyarakat melayu untuk menghuni rumah-rumah susun, bukanlah solusi yang ideal.
Sungguh ironi, dengan keadaan para elit yang memakai baju dinas itu. Seharusnya mereka bisa sadar, bahwa rakyatlah yang memberikan berbagai anggaran untuk negara lewat pajak.
Dan anggaran upah kerja merekapun, terpenuhi dari perasan keringat para rakyat miskin yang berharap ada perlindungan, dari kebijakan yang mereka buat.
Dipulau rempang sendiri, terdapat 16 kampung tua atau pemukiman warga asli.
Yaitu, dari suku melayu, suku orang laut, dan suku orang dayat yang telah lama menjaga dan bermukim dipulau itu sejak tahun 1834.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ada 7.512 jiwa yang tinggal dipulau tersebut, yang menggantungkan nasib pada kebaikan nurani para elit negara.
Sungguh aneh, melihat keadaan negeri ini yang seakan darurat akan ‘perhatian’ para investor asing maupun aseng.
Oleh karena itu, kita harus sadar bahwa keadaan seperti ini, adalah hal yang berbahaya. Karena, nasib masyarakat Indonesia akan mudah tergadaikan ke tangan para kapitalis.
Dan seperti inilah, para kapitalis modern mendesain tatanan social masyarakat. Dengan mudah kekuasaan itu dia ambil lewat modal yang dia miliki.
Sehingga terciptalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan, ditengah rakyat yang sudah tergadaikan oleh para elitnya ke pemilik modal atau investor.
Thomas Piketty dalam bukunya ‘’Capital in the Twenty-first Century’’ mengatakan bahwa, ketidaksetaraan merupakan ciri dominan terhadap wajah kapitalisme modern.
Maka dengan peristiwa ini, kita bisa memahami bahwa ada lobi-lobi kekuasaan dibalik perampokan tanah rempang. Keuntungan para investor, seakan menjadi prioritas utama para elit dinegeri ini, jualan janji yang mengipnotis rakyat sebelum duduk dipangku kekuasaan, sudah menjadi sindrom politik.
Ichsanuddin Noorsy dalam bukunya ‘’Kita Belum Merdeka’’ mengungkapkan bahwa, keterjajahan kita, bukan karena kuatnya tekanan dari luar, tapi juga bersedianya para elit politik untuk menjadi kaki tangan asing.
Maka dari itu kita perlu, sebuah kesadaran masyarakat untuk menemukan solusi yang tepat, dan harus menjadi tugas bersama.
Karena kedaulatan negeri kita, akan terus di aborsi kekayaannya jika kita tidak memahami apa masalah yang mendasar dinegeri ini.
Kesadaran untuk merubah negeri ini ke arah yang ideal, tak hanya terlaksana ditenga-tengah masyarakat, tapi juga harus diruangan formal tempat orang memberi izin usaha kepada para korporat yang merugikan rakyat.
Indonesia akan menjadi negara yang adil dan makmur, jika tatanan social masyarakatnya diatur oleh pengaturan yang tepat.
Kegentingan yang terus terjadi dinegeri ini, harus kita sadari lebih dini. Karena mata rantai kekacauan itu terjadi akibat adanya pembiaran terhadap kerusakan yang ada oleh para elit negara.
Maka dari itu, relokasi pulau rempang bukanlah hal yang tepat untuk memajukan perekonomian dinegeri ini.
Karena kita tidak bisa melihat bahwa, solusi untuk kemajuan perekonomian suatu bangsa tidak harus lewat menggusur rakyatnya.
Dan menguntungkan para investor. Karena hak rakyat harus menjadi prioritas negara, bukan tunduk dan patuh terhadap para investor yang bisa merusak lingkungan alam Indonesia.
Bukankah demokrasi kita berpegang teguh pada prinsip ‘’dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.(*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.