Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Citizen Reporter

Fatimawali Anak Tukang Jahit Jadi Profesor

PINDAH ke Limbung. Meski menempati rumah lebih kecil dari sebelumnya, kehidupan keluarga Fatimawali tidak “limbung” lagi. Ayahnya mulai aktif menjahit

Penulis: CitizenReporter | Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
Prof Fatimawali (tengah) didampingi suami dan ketiga anaknya saat pengukuhan guru besar FK Unsrat, Manado, Sulut, April 2015. 

Rektor Unhas Makassar pada masa itu Prof. Dr Achmad Amiruddin. Guru besar jebolan ITB ini yang menggagas dan berjasa memindahkan kampus Unhas ke Tamalanrea. Di timur Makassar, arah menuju Bandara Sultan Hasanuddin dan kabupaten Maros. Dan sang Rektor ini juga yang kemudian menjadi Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) selama dua periode.

Selama kuliah Fatimawali termasuk mahasiswa berprestasi secara akademik. Dan mendapat beasiswa dari pemerintah dalam bentuk tunjangan ikatan dinas (TID). Semua itu buah dari kerja keras dan ketekunannya belajar.

Berlayar ke Negeri Nyiur Melambai/

Pada tahun 1986, Fatimawali merampungkan pendidikan di Unhas dan diwisuda sebagai sarjana. Ia juga melaporkan kelulusannya ke Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) di Jakarta sebagai penerima beasiswa TID. Tapi untuk mendapatkan gelar apoteker, ia harus melanjutkan pendidikan tambahan setahun lagi.

Berselang waktu, Fatimawali menerima sepucuk surat dari Dikti. Isinya surat keputusan (SK) pengangkatannya sebagai staf pengajar atau dosen dengan penempatan di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat).

“Alhamdulilah….SK-nya saya terima bulan Maret, sedangkan saya baru selesai pendidikan apoteker pada bulan Mei.”

Setelah pamit ke orang tuanya di kampung, Fatimawali berangkat ke Manado, Sulawesi Utara (Sulut) untuk menggapai impian dan cita-citanya. Layar sudah terkembang.

Ibarat perahu Phinisi yang legendaris, layarnya sudah terkembang dan terus berlayar, dengan motto: “Lebih baik patah layar sebelum sampai daripada patah haluan sebelum berangkat.” Itu adalah juga pepatah lawas orang Bugis Makassar.

Jika seseorang sudah mempunyai niat bulat dan yakin harus dijalankan, tidak boleh berubah. Prinsip itu dipegang terus oleh Fatimawali yang diwariskan oleh orang tuanya. Kareso. Salahsatu falsafah orang Makassar yang mengajarkan bahwa seseorang harus kerja keras dan bersungguh-sungguh dalam berikhtiar.

“Manado, I’am Coming….!” kata Fatimawali saat itu, dalam hati.

Berdiri di pintu gerbang kampus Unsrat. Kemudian dia langsung melapor kedatangan di pos tak jauh dari situ. Ia diarahkan menuju salahsatu bangunan besar.

Saat itu ia resmi menjadi keluarga baru Unsrat. Dan juga resmi menikah, setahun kemudian 4 Oktober 1987, dengan Sahabuddin Umar dan dikaruniai 3 anak.

Semuanya dokter. Dua spesialis. Masing-masing dr. Achmad Fausan Adiatma Umar, Sp. PD, dr. Fitria Angela Umar, Sp.OG dan dr. Achmad Fadhil Adiputra Umar.

Mengingat pada masa itu kampus Unsrat Manado belum memiliki program studi Farmasi atau Fakultas MIPA, maka Fatimawali “dititipkan” ke Fakultas Kedokteran. Seiring waktu, ia lalu diberi tanggungjawab menginisasi pembukaan Faklutas baru, MIPA dan sekaligus prodi Farmasi.

Karirnya sebagai dosen dilakoninya di “Negeri Nyiur Melambai” (julukan lain bagi Manado).

Ia melanjutkan Pendidikan magister (S-2) di UGM Yogyakarta tahun 1992-1995 dengan studi analisis kimia.

Lalu mengambil program doktor (S-3) bidang Biomedik tahun 2007-2012 di FK Unhas. Disertasinya berjudul: Isolasi dan Karakterisasi Gen merA Bakteri Resisten Merkuri yang Dapat Digunakan untuk Detoksifikasi Merkuri Anorgani.

Hikmah yang dipetik dari kisah Fatimawali, bahwa terlahir dari keluarga sederhana dengan ekonomi pas-pasan bukan menjadi halangan untuk menggapai kesuksesan.

Setidaknya itulah yang dibuktikan Fatimawali, anak tukang jahit dari pelosok kampung yang kini menjadi Guru Besar Unsrat Manado.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved