Citizen Reporter
Fatimawali Anak Tukang Jahit Jadi Profesor
PINDAH ke Limbung. Meski menempati rumah lebih kecil dari sebelumnya, kehidupan keluarga Fatimawali tidak “limbung” lagi. Ayahnya mulai aktif menjahit
Penulis: CitizenReporter | Editor: Edi Sumardi
Rumahnya di belakang bangunan pabrik PT Pamos Jl.Cendrawasih Ujung Selatan (sekarang jadi kantor harian Tribun Timur).
Tak lama di situ. Bukan tak betah, tapi spirit mandirinya muncul. Fatimawali tidak mau berlama-lama menumpang dan merepotkan pemilik rumah, meskipun itu di rumah kerabat sendiri.
Menjelang penaikan kelas 2 di SMF, Fatimawali memulai episode kehidupan mandiri. Ia pindah ke tempat kost di Jalan Veteran Selatan.
Pemiliknya Pak Mansyur, kebetulan juga berasal dari Limbung. Ia tak sendirian, beberapa teman sekolahnya juga tinggal di tempat kost itu.
Pertama kali berpisah dengan orang tua, membuat Fatimawali harus mengerjakan segala keperluannya sendiri. Di tempat kostnya, mau tak mau dirinya harus memasak, mencuci, menyetrika pakaian sendiri. Begitu caranya untuk berhemat dan mengirit pengeluaran. Jaman itu belum ada istilah pesan makanan online ataupun jasa laundry seperti sekarang.
"Begitu SMA saya ngekos. Seminggu sekali kadang pulang kampung dengan kembali membawa beras serta lauk seperti ikan mairo kering yang bisa awet tahan lama dikonsumsi,” kenangnya.
Sebagai anak kost, bukankah ia mendapat kiriman rutin uang bulanan?
“Tidak ada dipatok tiap bulan,” katanya. Biaya hidup (living cost) diperoleh setiap kali ia pulang kampung. Nominalnya pun tidak tentu. Ia Ikhlas menerima berapa pun uang yang diberikan ayahnya. Karena ia sadar penghasilan sebagai tukang jahit di desa tidaklah seberapa. Apalagi adik-adiknya juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Hampir setiap hari Fatimawali berjalan kaki ke sekolah. Jaraknya lumayan jauh. Tapi ia memilih jalur potong kompas dengan menyusuri lorong atau “jalan tikus” memperpendek jarak tempuhnya. Namun lagi-lagi ia tak pernah menyerah akan kondisi kehidupannya.
Saking seringnya berjalan kaki ke sekolah, sampai-sampai alas bawah sepatunya sampai menipis.
Ayahnya dengan penghasilan tak menentu, belum mampu membelikannya sepatu baru. Ia bisa maklum. Penghasilan ayahnya harus dibagi juga dengan keperluan sekolah adik-adiknya.
Sekali waktu, kadang juga Fatimawali naik becak ke sekolah. Ukuran becak jaman dulu agak lebar. Biar ringan, ia mengajak dua temannya. Ongkosnya patungan dibagi tiga. Yang berat daeng becak. Nafasnya ngos-ngosan.
Menjalani kehidupan dengan segala keterbatasan seperti itu, tak menyurutkan semangat Fatimawali terus belajar dan menimba ilmu. Tekadnya kuat dan sudah bulat. Karena ia menganggap orang tuanya tidak mewariskan harta melimpah, Karena itu, hanya lewat jalur Pendidikan-lah kelak dirinya bisa survive dan membantu ekonomi keluarganya.
Sekolah sambil kerja
Doanya dijawab Allah SWT. Usai tamat pendidikan di SMF, Fatimawali langsung bekerja. Ia diterima di apotik RS Khadijah milik Muhammadiyah di Jalan Kartini. Sebelah selatan lapangan Karebosi. Semacam alun-alunnya kota Makassar.
Konsorsium KPTCN dan BOLT Seminar di Tohoku, Rangkaian Summer School in Japan |
![]() |
---|
Mahasiswa Unismuh Tolak Kenaikan Tunjangan Anggota DPR Rp3 Juta / Hari |
![]() |
---|
120 Dosen UIN Alauddin Dilatih Bikin Tulisan Ilmiah Pakai AI |
![]() |
---|
2 Mahasiswa Unhas Sabet Penghargaan Internasional Youth Inter-action and Exploration 2025 |
![]() |
---|
Ratusan Warga Ikut Jalan Sehat Ukhuwah Wahdah Islamiyah Gowa |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.