Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Citizen Reporter

Fatimawali Anak Tukang Jahit Jadi Profesor

PINDAH ke Limbung. Meski menempati rumah lebih kecil dari sebelumnya, kehidupan keluarga Fatimawali tidak “limbung” lagi. Ayahnya mulai aktif menjahit

Penulis: CitizenReporter | Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
Prof Fatimawali (tengah) didampingi suami dan ketiga anaknya saat pengukuhan guru besar FK Unsrat, Manado, Sulut, April 2015. 

Mendengar anaknya sudah bekerja, orang tuanya di Limbung pun lega. Selain tidak lagi membebani ayahnya, malah Fatimawali sudah bisa berkontribusi meringankan biaya keperluan sekolah adik-adiknya.

“Jangan lupa bantu adik-adikmu kalau sudah bekerja,” pesan ayah yang selalu diingatnya.

Meskipun sudah bekerja, Fatimawali tidak terlena. Ia masih saja merasa ada sesuatu yang kurang. Apa itu? Rupanya keinginannya melanjutkan pendidikan tetap menggelora di dadanya.

Bak gayung bersambut. Pada saat itu, ia membaca pengumuman “Sipenmaru” (seleksi penerimaan mahasiswa baru) di Universitas Hasanuddin (Unhas). Ia tertarik mendaftar dan ikut test. Membidik jurusan Farmasi. Namun ada kendala. Persyaratannya, harus punya ijazah SMA.

Beruntung, ada mantan gurunya di SMF juga ngajar di salahsatu SMA swasta. Atas bantuannya, Fatimawali dan beberapa temannya difasilitasi mengikuti proses belajar enam bulan atau semester pendek di sekolah yang berlokasi di jalan Bali.

Fatimawali sendiri bisa tetap bekerja. Pagi harinya. Karena masuk sekolahnya siang. Dan jaraknya tempatnya bekerja ke lokasi sekolah swasta itu pun tak begitu jauh. Di sebelah utara lapangan Karebosi, di kawasan pecinan.

Setelah mengantongi ijazah SMA, Fatimawali dkk janjian mendaftar “Sipenmaru” di Unhas.

Ketika itu masih di kampus lama Baraya Jalan Mesjid Raya. Bisa juga masuk lewat Jalan Sunu dan Jalan Kandea. Alhamdulilah, ia lulus. Doa syukur tak lupa dipanjatkannya.

Sedangkan beberapa temannya yang menurutnya waktu di bangku SMF memiliki prestasi dan otak yang encer, nyatanya gagal. Ia ikut sedih. Tapi itulah konsekuensi dari sebuah seleksi atau kompetisi.

Kabar kelulusannya disampaikan ke kampung. Ayah dan ibunya menyambut suka cita. Masa itu, suatu kebanggaan orang tua bila anaknya bisa tembus masuk Unhas. Namun euforia itu tak berlangsung lama. Orang tuanya berpikir keras. Lagi-lagi soal biaya.

Fatimawali tak patah arang. Ia mencoba meyakinkan orang tuanya. Apalagi upayanya masuk Unhas sudah diujung jalan.

“Sayang kalau tidak lanjut,” ujarnya dalam hati.

Ia lantas menyampaikan masih punya tabungan dari gajinya bekerja di apotik.

Lalu ayahnya menyanggupi menutupi sisa kekurangannya. Dengan melego asetnya, sepetak tanah.

“Itu momen pertama kali saya masuk Unhas tahun 1980. Di jurusan Farmasi. Ketika itu masih bergabung dengan Fakultas MIPA,” cerita Fatimawali.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved