Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Kendaraan Listrik, Apakah Membawa Kabar Baik atau Buruk?

Lebih optimis lagi, Presiden Jokowi menjanjikan akan ada 2 juta motor listrik yang akan terkendarai di jalanan Ibu pertiwi pada tahun 2025.

|
Editor: Sudirman
Ist
Akhmad Saputra Syarif, Penulis dan Podcast Show Host. 

Akhmad Saputra Syarif

Penulis dan Podcast Show Host

Kendaraan listrik diramalkan akan menjamur di Indonesia, hal ini senada dengan banyak tawaran-tawan menarik dari pemerintah, misalnya: potongan harga beli kendaraan sampai bahkan gratis pajak kendaraan.

Lebih optimis lagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjanjikan akan ada 2 juta motor listrik yang akan terkendarai di jalanan Ibu pertiwi pada tahun 2025 (CNBC, 2022).

Tentu saja hal ini akan disambut baik oleh banyak orang beberapa diantaranya adalah pelaku ekonomi, dan juga environmentalist.

Pasalnya, semakin mencekamnya global warming, membuat para ahli sedunia menaruh perhatian lebih ke greenhouse gases (GHG).

Satu diantara GHG itu adalah CO2 dan bahan bakar dari kendaraan menyumbang 18 persen dari total emisi CO2 dunia (Science Daily, 2022)—perubahan keterpilihan kendaraan harian para commuters diharapkan akan membantu mengurangi emisi CO2 ini.

Bukan hanya sampai di situ, kabar baiknya, ketika semua orang menggunakan kendaraan listrik, kemungkinan bahkan bagi mereka yang tidak mengendarainya pun akan turut bahagia.

Satu hal yang tidak menyenangkan dari kendaraan dengan combustion engine (ICE) adalah suara bising yang dimilikinya.

Rata-rata sebuah mobil dengan ICE yang bergerak dengan kecepatan 30 mph akan menghasilkan suara di kisaran 33 ke 69 desibel.

Sementara, kendaraan yang sama dengan kecepatan 70 mph akan menghasilkan suara 89 desibel—ibaratnya sedang mendengarkan percakapan dua orang yang saling berteriak.

Cukup mengganggu bukan ? Namun sayang sekali, dikarenakan polusi suara ini banyak dianggap tidak penting diberbagai daerah padahal dampaknya sangat merisaukan.

Bahkan, menurut Inger Ederson—UNEP Executive Direktur—suara dengan nada tinggi, berkepanjangan dan tidak diinginkan akan memberikan gangguan fisik yang serius—gangguan tidur, penyakit jantung, diabetes, serta gangguan pendengaran dan kesehatan mental (Financial times, 2022).

Bahkan menurut Schopenhauer—salah seorang filosof yang diceritakan Erick Weiner dalam bukunya The Socrates Express—kemampuan individu dalam memberikan toleransi terhadap kebisingan berbanding terbalik dengan kecerdasan yang dimiliki Individu tersebut.

Schopenhauer sangat prihatin dengan polusi suara yang banyak orang tidak sadari.

Keprihatinan tersebut tergambar pada salah satu surat Schopenhauer ter alamat pada seorang manajer teater.

Bunyi suratnya: lakukan apa saja terhadap kursi-kursi lipat dan pintu-pintu kalau perlu tempelkan bantal peredam dan juga kendalikan kerumunan orang.

“para Dewi Muses dan penonton akan berterima kasih kepada Anda karena membuat semuanya lebih baik” (Weiner, 2020).

Meski dianggap sebagai filsuf pesimistik, jikalau saja Schopenhauer masih hidup dan mengomel tentang kebisingan yang diciptakan oleh kendaraan dengan ICE, mungkin banyak orang akan setuju.

Mengapa tidak, orang-orang di dunia pada kota-kota yang padat bahkan telah memiliki polusi suara yang telah melewati ambang batas normal.

Para pengguna transportasi massa di Kota New York, 90 persen diantaranya, terekspos oleh suara di atas ambang limit yang direkomendasikan.

Kota Chi Minh City, di Vietnam, pengendara sepeda atau sepeda motor terekspos oleh suara dengan level di atas 78 desibel—dapat mengakibatkan kehilangan pendengaran yang tidak dapat tertolong (Financial times, 2022).

Uni Eropa mencatat polusi suara berdampak pada satu dari lima masyarakatnya, bahkan menyebabkan 12000 kematian setiap tahunnya (European Environment Agency, 2019).

Tentu kepopuleran EV akan menjadi angin segar, tapi apakah betul begitu?

Kabar buruknya adalah dengan teknologi EV kemampuan untuk meredam suara menjadi super efisien, atau boleh disebut terlalu efisien.

Pengurangan drastis suara tersebut menimbulkan masalah lainnya yakni keamanan di jalan raya.

Agar terjaga aman, para pengendara atau pun pejalan kaki mereka bukan saja mengandalkan penglihatan namun juga pendengaran yang mereka miliki.

Terutama pada kondisi gelap, malam contohnya. Electric Vehicle (EV) yang bergerak senyap akan meningkatkan tingkat kecelakaan di jalan raya.

Menjawab masalah ini, departemen transportasi Amerika (2016) membuat aturan untuk EV haruslah memiliki suara di sekitar 43 ke 64 desibel ketika bergerak pada kecepatan 18.6 mph ke bawah.

Pada kecepatan tinggi, meski memiliki perbedaan suara antara Electric Vehicle (EV) dan combustion engine (ICE) dalam perspektif mesin.

Namun suara ban dengan kondisi jalan atau suara angin saat kedua kendaraan melaju tidak jauh bedanya.

Kabar buruk lainnya, EV memiliki potensi untuk mengurangi karbon emisi CO2, namun kita memerlukan sekurang-kurang 12 persen penduduk dunia untuk menggunakan EV barulah perilaku tersebut betul-betul memiliki dampak pada lingkungan.

Sementara pada perhitungan tahun 2020, barulah kurang lebih 1 persen penduduk dunia yang menggunakan EV (Science Daily, 2022).

Oleh sebab itu, perjuangan belum usai.

Penantian masih jauh di depan, akan tetapi syukurnya, kita tiap harinya melangkah ke arah yang lebih baik.

Namun, kita pun harusnya tidak berpangku tangan, lalu menunggu.

Pemerintah daerah sudah sepatutnya melakukan aksi nyata untuk mendukung pengurangan penggunaan kendaraan pribadi; membangun trotoar agar pejalan kaki menjadi aman dan nyaman.

Jalur angkutan umum dicanangkan dengan rapi dan terkoneksi, serta memperbanyak jalur hijau dan taman kota.

Sementara bagi masyarakat dapat dengan sukarela untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi, meski sulit tapi untuk masa depan yang lebih baik, it is worth to try. Bersepeda ke kampus, atau ke tempat kerja contohnya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved