Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Anomali Pembiayaan Hijau Bagi Masyarakat Adat

Di dalam kerangka global bagi sistem perbankan yang berkelanjutan menyatakan 3 prinsip dasar

Editor: Ari Maryadi
zoom-inlihat foto Anomali Pembiayaan Hijau Bagi Masyarakat Adat
ISTIMEWA
Muhammad Arman Pendiri Kantor Hukum ANLawboratories & Associate dan Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

Oleh Muhammad Arman
Pendiri Kantor Hukum ANLawboratories & Associate dan Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
 
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR -- Di dalam kerangka global bagi sistem perbankan yang berkelanjutan yang disediakan oleh United Nation Enviroment Program (UNEP) pada tahun 2019, menyatakan 3 prinsip dasar, yaitu: Pertama, “Kami akan menyesuaikan strategi bisnis kami agar sejalan dengan dan berkontribusi bagi tercapainya kebutuhan setiap orang dan tujuan masyarakat, sebagaimana terungkap dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, Kesepakatan Paris tentang iklim dan kerangka nasional dan regional yang relevan; Kedua, Bank penandatangan akan menetapkan, mengukur, dan melaporkan pencapaian target mereka secara terbuka kepada publik, Perbankan yang terlibat bertekad akan meningkatkan target pembiayaan atas aktivitas bisnis yang mempunyai dampak positif, meniadakan  target  pembiayaan atas aktivitas bisnis yang berdampak negative, dan mengendalikan berbagai risiko yang timbul bagi manusia dan lingkungan hidup dari semua aktivitas, produk, dan jasa yang akan dibiayai, dan Ketiga, menegaskan: “Kami akan bekerja secara bertanggung jawab dengan klien dan konsumen kami untuk mendorong praktik-praktik yang berkelanjutan serta memungkinkan aktivitas ekonomi menciptakan kesejahteraan bersama bagi generasi sekarang dan yang akan datang.”
 
Selain itu, Prinsip Perbankan Bertanggung Jawab, UNEP juga mencatat bahwa hingga sekarang lebih dari 2.250 pihak yang menandatangani Prinsip Investasi Bertanggung Jawab terkait prinsip pembangunan berkelanjutan yang didukung PBB. Dalam kaitan dengan prinsip-prinsip tersebut tiga hal mendasar yang terkait dengan Masyarakat Adat ditegaskan bahwa: Pertama, para investor dan lembaga investasi untuk memasukkan dan mengakomodasi isu-isu yang menyangkut lingkungan hidup, sosial, dan tata kelola dalam proses analisis dan pengambilan keputusan untuk investasi. Kedua, menyatakan bahwa isu lingkungan hidup, sosial, dan tata kelola akan menjadi bagian dari kebijakan kepemilikan dan praktik-praktik bisnis dan investasi mereka, dan; Ketiga, menyatakan bahwa para penandatangan akan meminta kepada pihak yang akan menerima investasi dari mereka untuk membuka informasi yang relevan terkait isu lingkungan hidup, sosial, dan tata kelola yang baik, khususnya berkaitan dengan fungsi pengawasan.
 
Komitmen Global juga disebut dalam konvensi keanekaragaman hayati yaitu di dalam agenda Global Biodibersity Framework - Convention on Biological Diversity dalam target 1 berbunyi ; Ensure that all areas are under participatory, integrated and biodiversity inclusive spatial planning and/or effective management processes addressing land- and sea‑use change, to bring the loss of areas of high biodiversity importance, including ecosystems of high ecological integrity, close to zero by 2030, while respecting the rights of indigenous peoples and local communities. Merujuk pada target tersebut, maka di dalam GBF telah dirumuskan 3 target yang ditujukan untuk memastikan pembiayaan hijau menyasar pada masyarakat adat sebagai entitas penerima benefit sharing dari pemanfaatan keanekaragaman hayati, diberikan ruang partisipasi yang adil dan setara dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati.
 
Pembiayaan Hijau di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, istilah Green Financing didefinisikan sebagai dukungan menyeluruh dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Kebijakan Pembiayaan hijau di Indonesia setidaknya dapat dilihat dari UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan LH. Meski demikian UU 32/2009 baru sekadar sebagai instrumen ekonomi, tetapi tidak memiliki kekuatan hukum memaksa.
 
Selain itu di dalam Strategi Nasional Keuangan Hijau (SNKH) tahun 2015, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia menerbitkan SNKH yang bertujuan untuk mengarahkan sektor keuangan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Lebih lanjut di dalam Peraturan OJK No. 51/2017 tentang Keuangan Berkelanjutan, disebutkan terdapat dua aspek penting yang saling berkaitan dengan mata uang pembiayaan hijau  yaitu: 1). Aspek dana/simpanan: Lembaga jasa keuangan harus memastikan bahwa sumber dana yang diperolehnya dan disimpannya untuk dipakai dalam aktivitas produktif haruslah berasal dari dan merupakan dana yang tidak bermasalah dari sisi lingkungan hidup dan social, Dana-dana tersebut bukan berasal atau dimiliki oleh investor atau nasabah yang kinerja lingkungan hidupnya buruk, dan Dana-dana tersebut bukan berasal dari atau dimiliki oleh investor atau nasabah yang terlibat dalam kejahatan sosial: korupsi, perdagangan orang, narkoba, judi dan lain-lain; 2). Aspek penyaluran kredit: Lembaga Jasa Keuangan harus memastikan bahwa kredit yang disalurkannya bukan ditujukan atau dimaksudkan untuk membiayai kegiatan yang berdampak negatif bagi lingkungan hidup atau berkaitan dengan kejahatan lingkungan hidup dan sosial
 
Anomali

Sekalipun pembiayaan hijau telah diatur di dalam berbagai regulasi di Indonesia, tetapi di dalam praktiknya, berbagai kebijakan tersebut tidak cukup memadai untuk melindungi keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya. Faktanya berbagai bank BUMN Indonesia menjadi penyokong dana bagi perusahaan-perusahaan ekstraktif yang terbukti sedang berkonflik dengan Masyarakat Adat dan Lokal, misalnya Bank Mandiri dengan Group Perusahaan Agro Lestari, Bank BNI dengan Korindo yang wilayah konsesinya tersebar di Maluku dan Papua yang sertifikasi FSC (sertifikasi pengolahan hasil hutan) dicabut karena sejumlah pelanggaran social dan lingkungan termasuk hak-hak masyarakat adat dan lokal (TuK Indonesia, Oktober 2022). Celakanya OJK selaku lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengawasi pengunaan dana justru ikut serta melakukan pembiaran (cuci tangan) atas kasus-kasus tersebut.
 
Situasi Masyarakat Adat semakin diperburuk pasca lahirnya UU Cipta Kerja/pengesahan Perpu Cipta Kerja menjadi UU. Di tengah ketiadaan UU Masyarakat Adat, UU CK secara nyata telah instrument untuk melegitimasi perampasan wilayah adat, memperluas konflik dan mereduksi makna partisipasi penuh dan efektif Masyarakat Adat di dalam pengambilan keputusan.  Kehadiran “Proyek strategis nasional (PSN)” di berbagai sektor seperti wisata premium di NTT, Food Estate di Kalimantan dan Papua Barat, Pembangunan Ibu Kota Baru (IKN), pembanguna geothermal, bendungan dan lain-lain adalah beberapa contoh proyek yang akan menjadi genosida keberadaan masyarakat adat di Indonesia. Berbagai proyek diatas juga diantaranya dibiayai oleh lembaga pembiayaan internasional seperti ABD dan World Bank (WB).
 
Pembiayaan hijau dan berbagai proyek berkedok “hijau” adalah wajah baru kolonialisme Masyarakat Adat di Indonesia. Proyek mitigasi iklim melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional (PEPPRES NEK) menegasikan Hak Masyarakat atas karbon dengan menyatakan bahwa hak atas karbon adalah Hak Menguasai Negara (HMN), Proyek Restorasi ekosistem (RE) yang dikembangkan oleh pemerintah bersama pengusaha yang merampas hutan adat, bahkan dana BLU Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BLU BPDLH) saat ini lebih banyak digunakan untuk mereduksi hak masyarakat adat atas hutan adat, melalui pemberian izin diatas hutan adat dengan mengunakan skema HTR, HD, Hutan Kemitraan dan HKM.
 
Implementasi komitmen tentang keanekaragaman hayati di Indonesia dikenal dengan Indonesian Biodiversity Strategic Action Plan (IBSAP) nyatanya hingga dengan saat ini belum pernah terwujud meskipun praktik perlindungan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati dilakukan oleh Masyarakat Adat di Indonesia.  Ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya pembiayaan hijau untuk Masyarakat Adat di dalam dokumen pembangunan manapun di Indonesia.
 
Keadilan Pembiayan Hijau

Di tengah tumpang tindih hukum dan kebijakan Masyarakat Adat di Indonesia saat ini, maka pembiayaan hijau diikuti dengan topeng proyek hijau lainnya hanya akan menjadi alat untuk meligitimasi perampasan wilayah adat dan mengkriminalisasi masyarakat adat. Diperlukan satu instrument kuat pada tingkat global untuk memastikan lembaga jasa untuk memeriksa dan mengawasi korporasi yang mendapatkan pinjaman atau mengajukan pinjaman yang mengatasnamakan pembangunan hijau, restorasi ekosistem dan inisiatif perubahan iklim tidak melanggar hak-hak Masyarakat Adat.
 
Dalam konteks Indonesia, pembiayaan hijau yang berkeadilan hanya akan terwujud jika pemerintah menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat secara utuh. Diperlukan komitmen politik yang sungguh-sungguh dari pemerintah Indonesia untuk mewujudkan ambisi menekan laju deforestasi dan dampak perubahan iklim yang telah kita alami saat ini. Keadilan pembiayaan hijau adalah salah-satu cara mewujdukan keadilan sosial. Cita-cita mulia pembentukan bangsa ini.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved