Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Tribun Timur

Menuju Swasembada Gula

Inefisiensi industri gula nasional (gula tebu) dimulai dari on farm (perkebunan tebu), off farm (pabrik gula) higga rantai distribusi yang panjang.

Editor: Sudirman
dok pribadi/syarkawi rauf
Muhammad Syarkawi Rauf Dosen FEB Unhas dan Komut PTPN IX Jawa Tengah. Syarkawi Rauf penulis opini Tribun Timur berjudul 'Nilai Tukar dan Dornbusch Overshooting'. 

Secara historis, Indonesia pernah mengalami swasembada gula, yaitu pada masa Hindia Belanda sekitar tahun 1930-an.

Saat itu, produksi gula nasional mencapai 3 juta ton per tahun.

Dimana kurang lebih separuh produksi gula nasional diekspor yang menempatkan Indonesia sebagai eksportir gula nomor dua setelah Kuba.

Pada masa keemasan industri gula nasional, pemerintah Hindia Belanda menguasai sekitar 179 pabrik gula (PG) dengan kapasitas masing-masing PG sekitar 2 ribu Ton Cane per Day (TCD).

Hal ini didukung oleh perkebunan tebu sekitar 196,65 ribu hektar sehingga Bahan Baku Tebu (BBT) mencukupi untuk giling tanpa henti selama 100 – 120 hari.

Swasembada gula nasional kemudian tidak pernah tercapai kembali pada periode kemerdekaan, dimana sejak PG milik Belanda dinasionalisasi produksi gula nasional semakin menurun.

Saat ini kondisinya semakin parah karena sebagian lahan tebu di Pulau Jawa beralih fungsi menjadi areal industri dan perumahan.

Permasalahan utama industri gula nasional adalah produksi yang terus menurun dan Harga Pokok Produksi (HPP) gula yang tinggi.

Produksi gula nasional mengalami penurunan karena masalah di on farm, dimana produktifitas lahan tebu hanya sekitar 50 – 70 ton per hektar dan kualitas tebu yang buruk tercermin pada rendemen yang rendah.

Sementara di off farm, kondisi PG hasil nasionalisasi dari PG Belanda tidak banyak mengalamni modernisasi menyebabkan losses (kehilangan) pada tahapan produksi tinggi.

Losses dimulai dari stasiun penerimaan tebu, gilingan, pemurnian, penguapan, masakan pendingin hingga stasiun puteran penyelesaian untuk menghasilkan gula.

Produktifitas lahan tebu dan rendemen tebu yang rendah ditambah dengan mayoritas lahan tebu adalah lahan sewa menyebabkan harga Bahan Baku Tebu (BBT) tinggi.

Keterbatasan lahan di Pulau Jawa yang memproduksi sekitar 60 persen dari total produksi gula nasional berkontribusi pada komponen sewa lahan yang tinggi dalam harga BBT.

Di samping itu, tanaman tebu masih harus bersaing dengan komoditi lain dalam utilisasi lahan.

Swasembada Gula

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved