Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Hikmah di Balik Perbedaan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama

Perlu kita pahami bersama, ketika mengkaji awal bulan kamariyah, maka kita pasti menemukan sebuah fenomena berulang.

DOK PRIBADI
Fathur Muhammad - Alumnus Ilmu Falak UIN Alauddin Makassar dan Magister Ilmu Falak (Astronomi Islam)/ Ketua Departemen Etnoastronomi Indonesia Islamic Astronomy Club 

Sebagaimana hadist Nabi Muhammad Saw dalam Syarh Sahih Musliman-Nawawi (1995:7/165-166), “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, dai berkata saya membaca dihadapan Mailk dari Nafi’ dari Ibnu Umar radiyallahuanhuma dari Nabi SAW, bahwasanya beliau menyebutkan bulan Ramadhan; “Janganlah kalian berpuasa sehingga melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (berlebaran) sehingga kalian melihatnya. Jika (kalian) terhalang mendung maka tentukanlah”. (HR. Muslim).

Sebagaimana yang telah sebutkan dalam hadist, pro-kontra ini terjadi karena proses penentu dimulainya awal bulan baru (new moon) ketika “hilal (bulan) terhalang mendung maka tentukanlah” (faqduru lahu) atau biasanya hilal tidak dapat teramati.

Redaksi faqduru lahu inilah yang mengakibatkan terjadinya dua penafsiran dari para fukaha yang masing-masing mengabsahkan dua metode, yaitu diberlakukannya penggunaan hisab (perhitungan) dalam kondisi tersebut bagi mazhab hisab dan menggunakan istikmal (menggenapkan bulan 30 hari) bagi mazhab rukyah.

​Sehingga tupoksi permasalahan dari kedua metode ini akhirnya merambah keranah metodologi ushul fiqih (qawa’id usuliyah) dan metodologi pemahaman fiqih (qawaid al-fiqhiyyah).

Karena dari cabang ilmu keislaman, para ulama dapat menentukan hukum suatu ibadah syar’iyyah berdasarkan dengan dalil dan hadist yang terperinci.

Mazhab Rukyah

​Imam Syafi’i dalam kitabnya Ikhtilaf al-Hadist menjelaskan, bahwa kewajiban berpuasa dan berlebaran (awal bulan) adalah berpatokan dengan terlihatnya hilal, karena Allah SWT telah menjadikan hilal sebagai pertanda bagi (aktifitas) manusia dan melaksanakan ibadah haji. Menurut Imam Syafi’i ketentuan ahillah (fase-fase bulan) itu adakalanya berkurang (29 hari) adakalanya sempurna (30 hari), sehingga seseorang tidak boleh besrpuasa dan berlebaran kecuali telah terlihatnya hilal atau isktimal (penyempurnakan 30 hari).

​Oleh karena itu, Imam Syafi’i menempatkan penentuan awal bulan kamariyah sebagai unsur ta’abudi, yang dimana ketika unsur rukyah tidak terpenuhi, maka dilakukanlah istikmal yaitu penyempurnaan bulan 30 hari.

Mazhab Hisab

​Disebutkan oleh Nizar Mahmud Qasim, bahwa ada seorang ulama Syafi’iyyah bernama Ibn Daqiq al-‘Ied yang menafisrkan redaksi faqduru lahu dengan menyatakan kebolehan hisab apabila hilal tertutupi oleh awan.

Menurutnya apabila orang tersebut dapat mengetahui peredaran bulan secara sempurna. Hal ini juga dibenarkan oleh Ibnu Suraij, bahwa hisab dapat dipergunakan oleh cendekiawan falak.

Sedangkan Oman Faturrahman menyimpulkan, bahwa penafisran itu dilakukan secara komprehensif dengan korelasi satu hadist dengan hadist lainnya berdasarkan dengan dalil al-Qur’an dan yang mengharuskan rukyah ketika itu masih dalam keaadan ummi.

Maka, kelompok ini meletakkan awal bulan kamariyah sebagai ta’aqulli.

​Problematika itulah yang menjadi dasar utama perbedaan tentang masuk dan akhir bulan Ramadhan yang kerap kali terjadi di Indonesia antara mazhab hisab dan mazhab rukyah.

Terlepas dari itu, agar tidak menimbulkan rasa saling membenarkan dan menyalahkan diantara umat muslim, perlu kita pahami Maslahah Mursalah yang artinya memelihara tujuan syara’ dan merain manfaat atau menhindarkan kemudharatan bagi umat.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved