Opini
Economic Perspektive: Inflasi Tinggi, Depresiasi Lira, dan Respon Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter dan fiskal digunakan oleh Erdogan (presiden Turki) untuk mempengaruhi pemilih.
Kapasitas perekonomian Turki tidak mampu mengimbangi kenaikan permintaan dalam negeri. Ketidakseimbangan sisi permintan dan penawaran menyebabkan inflasi naik secara persisten (permanen). Inflasi tinggi berlangsung dalam jangka panjang.
Kapasitas perekonomian yang rendah, tidak mampu memenuhi kenaikan permintaan domestik menyebabkan impor meningkat. Akibatnya, defisit current account semakin lebar.
Perekonomian Turki dipaksa untuk berproduksi melebihi kapasitas yang dimiliki. Pertumbuhan aktual lebih besar dari potensinya.
Mata uang Turki, Lira mengalami depresiasi sangat tajam. Hal ini disebabkan oleh memburuknya fundamental ekonomi Turki, inflasi mencapai 85,5 persen pada Oktober 2022.
Terjadi capital outflow, investor mengalihkan assetnya dari Turki ke asset keuangan berdenominasi Dollar AS dan Euro.
Inflasi tinggi Turki menyebabkan wage-price spiral. Inflasi tertinggi dalam 25 tahun terakhir, menyebabkan upah riil turun yang mendorong kenaikan upah nominal untuk mengimbangi kenaikan harga kebutuhan pokok. Kenaikan upah kembali mendorong inflasi ke atas (cost push inflation).
Ibarat mesin, perekonomian Turki dipaksa untuk berproduksi melampaui kapasitas terpasang yang menyebabkan overheating.
Terjadi tekanan upah dan harga. Impor meningkat untuk memenuhi permintaan domestik dan pinjaman terlalu tinggi yang menyebabkan harga asset naik (asset bubble) dengan yield rendah.
Kesalahan Kebijakan dan Kelembagaan
Pemahaman Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, mengenai kebijakan moneter menjadi sumber masalah perekonomian Turki.
Presiden Turki mengintervensi otoritas moneter untuk menerapkan regim suku bunga rendah pada saat inflasi tinggi. Kebijakan ini menciptakan kekacauan ekonomi, inflasi semakin jauh dari target CBRT sekitar 5 persen.
Ekonom Greenwich University, Cem Oyvot (Euro News, 2022), menyebutkan kesalahan kebijakan ekonomi makro Turki dimulai sejak beberapa tahun lalu, dimulai dari kebijakan uang murah (suku bunga rendah) pada saat inflasi tinggi.
Kebijakan ini menguntungkan para konglomerat pendukung Presiden Erdogan, terutama pengusaha konstruksi dan properti.
Para politisi Turki menggunakan kebijakan fiskal longgar untuk mempengaruhi pemilih. Kebijakan defisit fiskal diarahkan untuk mendukung program pemerintah, termasuk kenaikan upah bagi pegawai pemerintah.
Masalahnya, pencetakan uang baru masih menjadi alternatif kedua membiayai defisit setelah surat berharga negara (government bonds).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.