Klakson
Klakson Tribun Timur: Proporsional
Di satu kaum, ada yang mewacanakan pentingnya mengubah lagi sistem pemilu kita ditahun 2024 nanti; dari sistem proporsional terbuka, menuju tertutup.
Oleh: Abdul Karim
Ketua Dewas LAPAR
Anggota Majelis Demokrasi & Humaniora
TRIBUN-TIMUR.COM - “Sesuai dengan proporsi; sebanding; seimbang; berimbang”.
Itulah kurang lebih makna proporsional saat kita menggalinya dalam tumpukan kamus-kamus ilmiah kaum terdidik.
Barangkali hal ihwal kata ini muncul lantaran ada kondisi yang tak seimbang, maka perlu solusi yang seimbang.
Kita memang butuh keseimbangan dan perimbangan untuk merawat kondisi.
Dan pada hakikatnya, barangkali kita lupa bila kita terlahir dari keseimbangan pula.
Manusia terlahir dari keseimbangan antara cinta dan birahi. Keseimbangan seperti inilah sebagai salah satu pembeda antara kita dengan binatang.
Binatang berkembang biak hanya dengan birahi tanpa cinta. Saya kira, disini keseimbangan begitu penting posisinya dalam peradaban manusia.
Dalam konteks demokrasi, keseimbangan pun bukan perkara remeh. Ia satu diantara beberapa paku utama demokrasi. Bila ia tercerabut, demokrasi kita penuh kabut tanpa lampu.
Kita tak mampu memandang dengan jarak lihat semeter ke depan. Di situ, kita tak tahu menahu arah perjalanan kita.
Keselamatan semua, akan terancam. Itulah sebabnya, keseimbangan disini perlu terbuat dari paku baja super yang kuat.
Jelang pemilu 2024 ini, diatas panggung politik, kita simak adegan mencemaskan. Sejumlah petinggi parpol memeragakan drama dengan skenario antagonis yang ironis. Mereka beradu mulut tentang sistem pemilu kelak.
Di satu kaum, ada yang mewacanakan pentingnya mengubah lagi sistem pemilu kita ditahun 2024 nanti; dari sistem proporsional terbuka, menuju proporsional tertutup.
Pada kaum lain, wacana itu ditolak, sebab sistem tertutup seolah mengembalikan pemilu ke zaman suram Orde baru.
Keduanya boleh mengajukan argumen-argumen memukau. Proporsional tertutup mengajukan pendapat bahwa sistem proporsional terbuka membuat pemilu dinegeri ini begitu mahal. Ongkos pemilu cukup jumbo dengan proporsional terbuka.
Selain itu, proporsional tertutup akan memfokuskan pengurus parpol untuk mengelola parpol secara intens agar parpol mampu menyiapkan kader terbaiknya untuk dipilih sebagai legislator. Di sini kedaulatan dominan parpol akan mewarnai.
Parpol akan menentukan siapa yang akan duduk di kursi dewan yang terhormat melalui nomor urut. Biasanya, nomor urut 1 yang akan duduk disana.
Konon, sistem ini spiritnya adalah kader parpol harus berkompetisi dengan kompetensi. Disitu ada pemahaman tentang fungsi-fungsi legislator. Sementara proporsional terbuka kecendrungannya adalah berkompetisi untuk populer.
Namun para penganut sistem proporsional terbuka berpendapat bahwa sistem yang selama ini pasca pemilu 2004 lalu sangatlah demokratis. Sebab, rakyat memilih calon wakil rakyat berdasarkan keinginannya. Tak ada istilah nomor urut.
Siapapun yang dominan perolehan suaranya, dialah yang akan duduk di kursi terhormat itu. Sistem ini akan rutin merawat pola relasi antara konstituen dengan legislator. Argumen ini menyebut, sistem proporsional tertutup laksana membeli kucing didalam karung.
Kita tak tahu menahu jenis kucingnya, warna bulunya, hingga segala kondisinya. Dengan itulah, kualitas demokrasi menguap bila sistem proporsional tertutup ditempuh.
Saya terpukau dengan diskursus itu. Tarik menarik keduanya yang seolah-olah berkehendak kuat memperjuangkan rakyat. Wacana politik tampak seperti diskursus akademik.
Manuver-argemen para aktor pun bagai gerakan mahasiswa tanpa lelah. Diluar mereka, penduduk berdesak-desakan antri pencairan dana bantuan sosial. Dan di luar dari itu semua, entah itu proporsional tertutup atau terbuka—disetiap pemilu datang beberapa pertanyaan seringkali mengendap di kepala kita; dengan cara apa caleg-caleg parpol itu meraih suara? Menghambur uangkah? Menebar senyumkah? Mengumbar janjikah? Mengapa rakyat memilihnya? Setelah terpilih apa yang dilakukannya untuk rakyat?
Pertanyaan-pertanyaan itu ringkas, namun berat diberi jawaban jujur, sebab diluar sana penderitaan rakyat terus berputar dari pemilu ke pemilu. Di situ pemilu tak mengatasi masalah rakyat. Ia hanya mengakhiri kompetisi perebutan kursi yang terhormat itu. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.