Opini Muh Awaluddin Faturrachman
Pendidikan; Kesadaran Naif hingga Pembebasan
Pendidikan seakan berada pada posisi dilema antara memenuhi tuntutan bangsa sebagai cita-cita negara atau deksriminasi sistem perputaran politik.
Oleh: Muh Awaluddin Faturrachman
TRIBUN-TIMUR.COM - Pendidikan saat ini sedang mengalami sistem degradasi keummatan.
Hal ini disebabkan adanya sebuah perubahan sosial dari dunia nyata menuju digitalisasi.
Olehnya, pendidikan seakan berada pada posisi dilema antara memenuhi tuntutan bangsa sebagai cita-cita negara atau deksriminasi sistem perputaran politik akademisi.
Di sisi lain, proses keterbukaan (Inklusif) dari pihak akademisi secara dialektika belum sepenuhnya merata. Masih banyak problematika ketimpangan-ketimpangan sosial didalam pendidikan.
Semisal para akademisi tinggi tidak terlalu begitu terbuka bagi terdidik. Hal ini berpengaruh pada pola pendidikan sebagai sistem pembebasan. Arah pendidikan seakan abstrak dalam menjawab tantangan
zaman. Orientasi lapangan tak begitu sesuai dengan konsep-konsep pihak terkait.
Akankah para pendidik dan terdidik sadar untuk membangun pendidikan?
Baca juga: Menguak Fenomena Pemuda Tidak Produktif
Apakah pendidikan bisa menjadi roda pembebasan bagi masyarakat? Pertanyaan seperti ini yang mesti dipecahkan oleh seluruh elemen bangsa dan negara.
Arus Digitalisasi
Arus digitalisasi yang begitu pesat membuat pendidikan disulap menjadi pemenuhan tugas bangsa. Banyak sistem baru hadir dalam memecahkan persoalan tersebut.
Semisal proses belajar yang dahulunya tatap muka secara langsung kini berubah menjadi model belajar secara online seperti penggunaan aplikasi digital seperti Zoom, Classroom dan lain sebagainya.
Menurut Nadiem Makarim “Teknologi adalah alat bantu guru meningkatkan potensi mereka dan mencari guru-guru penggerak terbaik serta memastikan mereka bisa menjadi pemimpin-pemimpin pembelajaran dalam sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.”
(Dalam sebuah seminar web di Jakarta). Hal ini berdampak pada posisi pemenuhan guru, dosen dan tenaga pengajar lainnya bisa saja tergantikan.
Kurangnya upaya penggerak pendidik dalam menyuarakan posisinya sebagai akademisi tinggi. Karena adanya sistem yang mengikat mereka.
Hal ini menjadi tugas tersendiri bagi pendidik untuk memperjuangkan dirinya agar tak tergantikan oleh alat digitalisasi sebagai pemenuhan kondisi pendidikan.
Paulo Freire (2007:202) mengatakan “Perjuangan pembebasan adalah perjuangan bersenjata dengan atau tanpa momen politis.”
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/logo-tribun-timur-1-2102021.jpg)