Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Òpini Muh Akbar

Sudahilah Kekerasan itu, Mahasiswa!

Ketika mendengar kabar terdapat belasan mahasiswa di salah satu kampus di Makassar mengalami perpeloncoan dengan senior sebagai pelaku utama.

TRIBUN TIMUR
Logo Tribun Timur - Sudah menjadi rahasia umum jika kekerasan ataupun pelonco masih terpancang kuat di arena pendidikan kita hari ini. (opini) 

Melainkan terdapat unsur-unsur yang membentuk kekerasan tersebut dan disaat bersamaan unsur tersebut dapat dikategorisasikan juga sebagai bentuk kekerasan.

Salah satunya menurut Johan Galtung, dalam Esainya berjudul “Cultural Violence” ia melirik produk dan produksi kebudayaan seperti bahasa, pengetahuan, ideologi, bahkan seni sebagai praktik/alat yang tepat guna dalam melegitimasi kekerasan secara struktural maupun langsung (fisik atau verbal).

Galtung bahkan menganggap produk dan produksi kebudayaan tersebut sebagai bentuk kekerasan pula yang bernama kekerasan budaya.

Konsepsi yang hampir senada juga dikemukakan oleh Pierre Bourdieu ketika melihat simbol sebagai salah satu jalur masuk memahami bagaimana kekerasan dan kekuasaan bekerja.

Dalam buku “Dominasi Penuh Muslihat”, Haryatmoko mengutip Bourdieu yang melihat logika dominasi berjalan di atas prinsip simbolik yang terurai mulai dari bahasa, gaya bertutur, sikap, gaya hidup, cara berpikir sampai ciri tubuh.

Dengan menggunakan perangkat analisis dari Galtung dan Bourdieu kita sebenarnya bisa memahami mengapa kekerasan yang terjadi di lingkup pendidikan masih berlangsung sampai hari ini.

Praktik ini melenggang dengan kuatnya sebab ada legitimasi oleh simbol yang direproduksi dari masa ke masa sehingga mempengaruhi pemaknaan korban terhadap apa yang dialami.

Contoh, ketika kekerasan itu dibalut dengan narasi “pembentukan mental” “solidaritas sesama angkatan” “saya dulu dek, lebih parah daripada kalian”.

Narasi tersebut seolah menjadi pembenaran terhadap kekerasan yang dilakukan senior karena kekerasan tersebut justru dilihat dapat membantu korban untuk mengembangkan di lingkungan kampus maupun membantu mereka beradaptasi di lingkungan baru.

Posisi senior dalam struktur sosial yang superordinat di dalam kampus turut mengafirmasi bagaimana narasi yang ada lebih mudah didengar dan dipahami seturut dengan itu otoritasnya tak diragukan.

Perlunya Intervensi

Menurut penulis, untuk bisa sampai memutus rantai kekerasan yang terjadi di lingkup perguruan tinggi maka perubahan mesti dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan aspek struktural dan kultural perubahan yang dimaksud.

Dari segi struktural, penulis menawarkan regulasi legal-formal yang sifatnya menyeluruh terhadap penindakan dan pencegahan kekerasan yang sering terjadi pada masa orientasi atau pengkaderan mahasiswa.

Regulasi ini perlu lebih luas cakupannya dari UU PPKS (Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual).

Lalu, secara kultural, kita mesti mendukung maupun turut serta ikut dalam menyebarluaskan narasi tandingan terhadap kekerasan.

Baik itu dilakukan dari segi perilaku dalam lingkup mikro maupun pada tataran makro sekalipun.

Kolaborasi struktural dan kultural semacam ini menurut hemat penulis akan membantu baik dari segi pembiasaan (kultural) maupun pemberlakuan regulasi (struktural).

Dan kita perlu mengingat, kekerasan apapun alasannya tidak akan pernah dibenarkan di muka bumi ini!(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Rusuh

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved