Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Òpini Muh Akbar

Sudahilah Kekerasan itu, Mahasiswa!

Ketika mendengar kabar terdapat belasan mahasiswa di salah satu kampus di Makassar mengalami perpeloncoan dengan senior sebagai pelaku utama.

TRIBUN TIMUR
Logo Tribun Timur - Sudah menjadi rahasia umum jika kekerasan ataupun pelonco masih terpancang kuat di arena pendidikan kita hari ini. (opini) 

Sudahilah Kekerasan itu, Mahasiswa!
Oleh: Muh Akbar
Mahasiswa Sosiologi Universitas Hasanuddin

TRIBUN-TIMUR.COM - Ketika mendengar kabar terdapat belasan mahasiswa di salah satu kampus di Makassar mengalami perpeloncoan dengan senior sebagai pelaku utama.

Sontak hal ini membuat kaget beberapa pihak, utamanya dari kalangan Mahasiswa itu sendiri.

Beberapa akun medsos terlihat mengunggah kekesalan sembari mengutuk peristiwa amoral itu.

Tapi penulis sendiri tidak kaget dan, tentu kita tidak semestinya kaget. Sudah menjadi rahasia umum jika kekerasan ataupun pelonco masih terpancang kuat di arena pendidikan kita hari ini.

Peninggalan Kolonial?

Apabila kita mengulik genealogi kekerasan yang menjangkiti dunia mahasiswa hari ini dan membuat seakan tindakan itu sebagai sesuatu hal yang dianggap “normal” maka jelajah sejarah mesti dilakukan terlebih dahulu.

Sebagaimana yang dikutip dari “Kisah Plonco Sejak Zaman Londo” melalui laman Historia.id, sebenarnya praktik perpeloncoan sudah ada semenjak zaman pendudukan Hindia Belanda dan praktik ini terus menerus dipertahankan dengan berbagai macam metode.

Meski sempat dilarang pada masa Demokrasi Terpimpin, namun ruh dari perpeloncoan tetap melanggeng ke dalam aktivitas-aktivitas Orientasi Pengenalan Kampus.

Intensitas perpeloncoan di tingkat kampus mungkin mereda ketika orang sudah melek terhadap HAM dan prosesi ospek yang lama sudah tidak dianggap relevan untuk zaman sekarang. Bukan berarti hal tersebut sudah tidak ada.

Justru praktik kekerasan malah berpindah, dari yang semula berada di tingkat OSPEK lalu sekarang menjurus pada ranah yang lebih restriktif seperti pengaderan atau rekrutmen Organisasi Kemahasiswaan.

Tentunya dengan minim intervensi dari pihak kampus. Meski begitu, kita perlu menaruh curiga, karena dalam beberapa kasus kekerasan, kampus seolah membiarkan praktik ini tetap ada tanpa penindakan yang tegas.

Bentuk Kekerasan

Lantas, mengapa hal yang sedemikian bejatnya masih tetap saja dapat kita temui? Untuk menjawab hal tersebut kita perlu memahami praktik kekerasan tidak hanya terjadi pada lingkup fisik dan verbal semata.

Mungkin sebagian dari kita sudah tahu, bahwasannya kekerasan memiliki berbagai macam bentuk dan dampak berbeda.
Dalam ranah ilmu sosial, kita mengenal kekerasan tidak hanya bersifat langsung dan tidak langsung yang terejawantahkan dalam dimensi fisik maupun verbal.

Melainkan terdapat unsur-unsur yang membentuk kekerasan tersebut dan disaat bersamaan unsur tersebut dapat dikategorisasikan juga sebagai bentuk kekerasan.

Salah satunya menurut Johan Galtung, dalam Esainya berjudul “Cultural Violence” ia melirik produk dan produksi kebudayaan seperti bahasa, pengetahuan, ideologi, bahkan seni sebagai praktik/alat yang tepat guna dalam melegitimasi kekerasan secara struktural maupun langsung (fisik atau verbal).

Galtung bahkan menganggap produk dan produksi kebudayaan tersebut sebagai bentuk kekerasan pula yang bernama kekerasan budaya.

Konsepsi yang hampir senada juga dikemukakan oleh Pierre Bourdieu ketika melihat simbol sebagai salah satu jalur masuk memahami bagaimana kekerasan dan kekuasaan bekerja.

Dalam buku “Dominasi Penuh Muslihat”, Haryatmoko mengutip Bourdieu yang melihat logika dominasi berjalan di atas prinsip simbolik yang terurai mulai dari bahasa, gaya bertutur, sikap, gaya hidup, cara berpikir sampai ciri tubuh.

Dengan menggunakan perangkat analisis dari Galtung dan Bourdieu kita sebenarnya bisa memahami mengapa kekerasan yang terjadi di lingkup pendidikan masih berlangsung sampai hari ini.

Praktik ini melenggang dengan kuatnya sebab ada legitimasi oleh simbol yang direproduksi dari masa ke masa sehingga mempengaruhi pemaknaan korban terhadap apa yang dialami.

Contoh, ketika kekerasan itu dibalut dengan narasi “pembentukan mental” “solidaritas sesama angkatan” “saya dulu dek, lebih parah daripada kalian”.

Narasi tersebut seolah menjadi pembenaran terhadap kekerasan yang dilakukan senior karena kekerasan tersebut justru dilihat dapat membantu korban untuk mengembangkan di lingkungan kampus maupun membantu mereka beradaptasi di lingkungan baru.

Posisi senior dalam struktur sosial yang superordinat di dalam kampus turut mengafirmasi bagaimana narasi yang ada lebih mudah didengar dan dipahami seturut dengan itu otoritasnya tak diragukan.

Perlunya Intervensi

Menurut penulis, untuk bisa sampai memutus rantai kekerasan yang terjadi di lingkup perguruan tinggi maka perubahan mesti dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan aspek struktural dan kultural perubahan yang dimaksud.

Dari segi struktural, penulis menawarkan regulasi legal-formal yang sifatnya menyeluruh terhadap penindakan dan pencegahan kekerasan yang sering terjadi pada masa orientasi atau pengkaderan mahasiswa.

Regulasi ini perlu lebih luas cakupannya dari UU PPKS (Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual).

Lalu, secara kultural, kita mesti mendukung maupun turut serta ikut dalam menyebarluaskan narasi tandingan terhadap kekerasan.

Baik itu dilakukan dari segi perilaku dalam lingkup mikro maupun pada tataran makro sekalipun.

Kolaborasi struktural dan kultural semacam ini menurut hemat penulis akan membantu baik dari segi pembiasaan (kultural) maupun pemberlakuan regulasi (struktural).

Dan kita perlu mengingat, kekerasan apapun alasannya tidak akan pernah dibenarkan di muka bumi ini!(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved