Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Tribun Timur

Latinisasi Aksara, Matikan 4 Aksara di Sulawesi Selatan

Proyek rekayasa budaya yang dilakukan penjajah Belanda di masa lampau, terlah berakibat fatal bagi perkembangan aksara di Indonesia

Editor: Sudirman
Idwar Anwar
Idwar Anwar, Alumnus FSUH Unhas 

Akibat masifnya penggunaan aksara Latin ini, perlahan-lahan, utamanya karena pengajaran di sekolah-sekolah pemerintah Belanda menggunakan aksara Latin, maka orang-orang pribumi yang mengenyam pendidikan Belanda pun ikut larut dalam penggunaan aksara Latin.

Terlebih melalui lembaga penerbitan yang didirikan Belanda yang bernama Kantoor voor de Volkslectuur yang kemudian dikenal dengan Balai Pustaka, banyak memproduksi buku-buku yang menggunakan aksara Latin.

Belum lagi ditambah dengan diterbitkannya beberapa majalah berbahasa Melayu yang telah menggunakan aksara Latin.

Kendati Balai Pustaka yang didirikan dengan nama Commissie voor de Inlansche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat) pada tanggal 15 Agustus 1908 bertujuan untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah di Hindia Belanda.

Namun proyek latinisasi tersebut perlahan-lahan mematikan aksara bahasa daerah yang ada di Indonesia.

Akibatnya, masyarakat penutur bahasa daerah tidak lagi mampu menggunakan, bahkan membaca aksara bahasa daerahnya sendiri.

Matinya Aksara

Di Sulawesi Selatan pernah hidup 4 macam aksara yang dipakai masyarakat, yakni 1) aksara lontaraq lama dan baru, 2) aksara jangang-jangang, 3), aksara Arab Serang dan 4) aksara Bilang-Bilang.

Namun hingga kini hanya aksara lontaraq yang berhasil bertahan, itupun telah punah dalam penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari dan hanya terlihat pada manuskrip-manuskrip kuno.

Jauh sebelum kemerdekaan, penggunaan aksara Lontaraq, Jangang-jangan, Arab Serang dan aksara Bilang-bilang banyak mengisi manuskrip-manuskrip di masyarakat Sulawesi Selatan.

Bukan hanya dalam komunikasi atau sebagai penyampai pesan biasa, namun penyebaran pengetahuan pun dilakukan melalui media aksara tersebut.

Hingga akhir abad ke 19, penggunaan keempat aksara tersebut masih digunakan, utamanya aksara Lontaraq.

Akan tetapi, di awal abad ke 20, terlebih setelah kian masifnya latinisasi terhadap aksara di Hindia Belanda, sangat berdampak pada penggunaan aksara tersebut.

Termasuk pembentukan Komisi Bahasa Indonesia oleh Jepang pada 20 Oktober 1942 dan Komite Kerja Bahasa Indonesia bentukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1947 yang mempercepat latinisasi aksara di tanah air.

Masifnya penggunaan aksara Latin, bahkan setelah Indonesia merdeka berdampak serius terhadap penggunaan berbagai bahasa, utamanya aksara yang jauh sebelumnya sudah mapan.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved