Klakson
Nahdlatul Ulama
Kemunculan Gus Yahya Staquf (GYS) sebagai calon ketua Tanfidziyah mencuri perhatian Nahdliyyin se nusantara. Pertama-tama ia hadir dengan kampanye
GYS seolah menggemakan ‘kembali ke Khittah’ itu dalam momentum Muktamar ke 34 tahun 2021 di Lampung.
Kakak kandung Menteri Agama itupun terpilih sebagai ketua Tanfidziyah PB NU masa khidmat 2021-2026.
Ummat NU pun lega. Pasti lega, sebab pernyataan GYS bahwa PB NU tak bercapres-cawapres pada pemilu 2024 nanti adalah kenyataan yang banyak dinanti.
Pernyataan itu semakna dengan kembali ke Khittah 1926, atau hendak membersihkan NU dari virus-virus politik praktis seraya berfungsi kaffah untuk bangsa.
Sayangnya, kelegaan itu tak bertahan lama, tak sampai sebulan lamanya.
Pada penyiaran struktur “kabinet” PB NU yang dipimpin GYS tanggal 12 Januari lalu, kelegaan itu sirnah seketika lantaran sejumlah pegiat/kader parpol nongol dalam kabinet PB NU.
GYS berkata, dimasukkanya para politisi tersebut sebagai para pengawas aktivitas NU ke depan.
Maksudnya, bila dimasa datang ada pengurus PB NU diam-diam mempolitisasi NU maka mudah terungkap sebab pasti diketahui oleh pengurus lainnya yang berlatar belakang parpol pula.
Iklim “saling mengawasi” ini hendak dibangun untuk menjaga marwah NU.
Sebab katanya, peniadaan politisi dalam dewan kepengurusan akan berimbas pada kian mudahnya NU dipolitisir. Disinilah inkonsistensi bermula terasa.
Dan disitulah letak masalahnya. Barangkali GYS lupa bahwa watak politik kita hingga hari ini begitu jauh dari nilai-nilai moralitas yang baik.
Contoh kecil umpamanya, “kejujuran”. Kejujuran tak pernah mengalasi gerak politik kita.
Sebaliknya, kebohongan malah senantiasa tersertakan. Politik kita hingga hari ini tak segan-segan memproduksi kebohongan.
Bukan hanya pada ummat, bahkan pada Tuhan pun politik begitu berani berdusta.
Dan di republik ini, kebohongan politik malah seringkali dikonsolidasikan dan dianggap sebagai kelaziman.