Opini Tribun Timur
Reformasi Yes, Resetting No
wali kota menempatkan diri pemegang otoritas tunggal dan dapat melakukan apa saja terhadap anak buahnya sebagaimana handphone yang sementara ngadat.
Wali kota menganalogikan dirinya sebagai pemilik handphone.
Ia menempatkan dirinya sebagai pemegang otoritas tunggal dan dapat melakukan apa saja terhadap handphone yang sementara ngadat.
Dalam prinsip pemerintahan yang baik; partisipasi masyarakat, kesamaan yang inklusif, ketaatan terhadap aturan, transparansi dan akuntabilitas serta prinsip efektifitas dan efisiensi menjadi sebuah keharusan.
Di era demokrasi partisipatif, birokrasi pemerintahan dituntut untuk semakin responsif dalam menanggapi berbagai peristiwa yang berlangsung begitu cepat.
Wali kota sebagai pemimpin seharusnya menampilkan model kepemimpinan yang demokratis, terbuka dan partisipatif.
Memperlakukan birokrasi dan masyarakat sebagai benda mati, sama saja dengan mempertontonkan gaya kepemimpinan otoriter yang anti kritik.
Gaya kepemimpinan seperti ini hanya akan menimbulkan gejolak dan resistensi baik di masyarakat maupun di birokrasi pemerintahan.
Klaus Schwab dalam bukunya, Covid-19 and The Great Reset (2020), mengaskan bahwa di era disrupsi yang ditandai dengan fenomena interdependence, velocity dan complexity, great reset dibutuhkan agar kehidupan manusia pasca pendemi jauh lebih egaliter, inklusif, demokratis dan partisipatif.
Kedua, ide resetting pemerintahan bertentangan dengan prinsip dynamic governance. Menurut Boon Siong Neo dan Geraldine Chen (2007), dinamisasi dalam pemerintahan ditandai oleh munculnya ide-ide dan persepsi baru yang segar, upgrading berkelanjutan, tindakan cepat, adaptasi yang fleksibel serta inovasi yang kreatif.
Dinamisasi akan berimplikasi langsung terhadap pembelajaran berkelanjutan, eksekusi yang cepat dan efektif serta perubahan yang berlangsung terus-menerus.
Dynamic governance menurut Boon Siong Neo, mensyaratkan tiga kapabilitas yang harus dimiliki oleh pemimpin pemerintahan.
Pertama, thinking ahead. Kemampuan ini digambarkan sebagai keahlian seorang pemimpin untuk melihat tanda-tanda perubahan masa depan yang akan berdampak pada organisasinya dan kemampuan menjadikan organisasinya relevan dengan perkembangan zaman.
Kedua, thinking again. Kemampuan ini identik dengan kemauan untuk membuat dan memikirkan kembali kebijakan atau fungsi kelembagaan agar mereka memberi dampak yang lebih baik.
Ketiga, thinking across. Kemampuan ini direfleksikan dari keterbukaan pemimpin untuk melintasi batas dan belajar dari pengalaman orang lain atau pengalamannya di masa lalu, sehingga ide-ide dan konsep baru dapat diterapkan di dalam organisasinya.
Selanjutnya yang perlu diluruskan, menurut saya, terkait resetting pemerintahan dalam tulisan Prof Aminuddin Ilmar tersebut, yang ketiga, resetting pemerintahan secara filosofis mereduksi makna governance secara sangat simplistik.