Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

OPINI - BJPS Kesehatan Naik: Siapa Takut?

Di akhir tahun 2019 BPJS Kesehatan diprediksi mengalami kerugian sekitar Rp 28 triliun.

Editor: Aldy
zoom-inlihat foto OPINI - BJPS Kesehatan Naik: Siapa Takut?
tribun timur
Mahasiswa Magister Administrasi & Kebijakan Kesehatan UNHAS

Oleh:
Alfiah Ramadhani Amran
Mahasiswa Magister Administrasi & Kebijakan Kesehatan UNHAS

Mencermati tulisan Andi Suharman Batara (ASB) berjudul “Iuran BPJS Naik, Mana Tanggungjawab Negara?”, Tribun Opini 3 September 2019, bersama ini saya ingin mengemukakan beberapa catatan ringan.

Pertama: Iuran BPJS Kesehatan yang tak sesuai hitungan aktuaria sejak tahun 2014 seperti “catat bawaan”, dan jadi momok pengelolaan BPJS Kesehatan.

Di akhir tahun 2019 BPJS Kesehatan diprediksi mengalami kerugian sekitar Rp 28 triliun.

Angka ini, lebih besar dari kewajiban Pemerintah membayarkan iuran bagi Penerima Batuan Iuran (PBI) sebanyak 96,8 juta orang miskin dan tidak mampu, selama setahun sekitar Rp 26,5 triliun dengan besarnya iuran Rp 23.000 per-orang per-bulan (POPB).

Besaran defisit tersebut bersumber dari sisa tunggakan tahun lalu sebanyak Rp 9,1 triliun, ditambah defisit yang real 2019 sebanyak Rp 19 triliun.

Lantas, inikah alasan menaikkan iuran BPJS yang dijajakan Pemerintah sebesar 2 kali lipat, dan tawaran Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang sedikit lebih rendah.

Angka-angka ini bisa ‘mencekik’, tetapi bisa pula menjadi ‘hal yang wajar’(?)

Baca: PTMSI Sulsel Targetkan Atlet Masuk 8 Besar Pra-PON

Kedua: Mari kita lakukan hitung-hitungan jika kenaikan iuran BPJS Kesehatan dikenakan bagi semua segmen (PBI dan Non PBI).

Jika iuran PBI tahun 2020 dinaikkan menjadi Rp 42.000,-/POPB berarti ada alokasi dana PBI setahun Rp 48.787.200 triliun. Ada peningkatan iuran PBI sebesar Rp 22.087.200 triliun.

Sampai di sini urusan pemerintah yang diamanatkan UU untuk membayar iuran PBI, sudah dilaksanakan secara proporsional (sesuai hitungan aktuaria).

Untuk hitungan Non PBI menurut Undang-Undang, dilakukan dengan angka nominal bagi perorangan (PBPU dan BP), serta presentase dari upah/gaji untuk PPU Yang perlu dirumuskan adalah dengan PBI sebesar Rp 42.000,-/POPB, berapa besaran iuran yang juga proporsional (sesuai hitungan aktuaria) untuk Non PBI, baik PPU maupun PBPU dan BP.

Bagaimana dengan peserta Non PBI yang selama ini mengambil tarif iuran Kelas 1, kemudian berubah hanya ada fasilitas kelas standar? (catatan: rawat inap kelas standar, hanya satu kelas perawatan saja misalnya 1 kamar untuk 4-6 orang).

Peserta kelas 1 bisa pindah ke kelas VIP dengan menambah selisih biaya (cost sharing), yang dapat dibayarkan langsung selisihnya ke rumah sakit, atau melalui private insurance dengan pola CoB (Coordination of Benefit).

Ketiga: Jika persoalan iuran PBI dan Non PBI sesuai aktuaria – sudah tuntas (clear and clean), rumusan kelas perawatan sesuai kelas standar, sudah ada draft Perpresnya.

Apakah persoalan iuran sudah selesai? Ternyata belum.

Ada persoalan kolektibilitas yang bisa menggerogoti Dana Jaminan Sosial JKN, jika tunggakan iuran semakin membengkak dan tidak terkontrol.

Baca: Dicueki Pemerintah, Warga Tallo Ancam Tutup Paksa Usaha Ekspedisi

Kelompok yang terbanyak adalah Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) yang jumlahnya mencapai 31,5 juta dan Bukan Pekerja (BP) yang jumlahnya mencapai 5,1 juta jiwa.

Total PBPU dan BP sebanyak 36,6 juta. Hanya 54% yang disiplin membayar iuran.

Kita hitung saja, jika ada 46% menunggak dari total PBPU dan BP (36,6 juta peserta), jumlahnya adalah 16.836.000 peserta, dengan iuran kelas 3 Rp.25.500.- per bulan, maka untuk setahun potential lost iuran Rp. 5,15 Triliun.

Di sinilah, manajemen BPJS ‘memburu’ para penunggak, jangan cuma bangga (tak prihatin?) menerima gaji berkelas elit-BUMN.

Selanjutnya, mencermati apakah menunggak bahkan D.O. karena willingness to pay atau ability to pay.

Jika terkait ability to pay maka Dinas Sosial dapat melakukan verifikasi dan validasi sebagai calon penerima PBI.

Keempat: Ada resep dari Pemerintah, berisi sembilan strategi bauran kebijakan JKN sebagai upaya mengendalikan defisit BPJS Kesehatan.

Baca: Hebat! Kementan Tanam Padi Gunakan Drone di Lahan Rawa Program SERASI

Baca: Sudah Ada 66 Kendaraan Kena Tilang di Bantaeng

Kesembilan strategi bauran dimaksud: (1) cakupan PBI, iuran PBI Rp 23.000 (tidak ada kenaikan); (2) pemotongan dana transfer daerah atas tunggakan Iuran Pemda sebagai pemberi kerja; (3) pembatasan dana operasional BPJS Kesehatan dari iuran sebesar maksimal 4,8%; (4) peningkatan peran pemda melalui penggunaan dana pajak rokok (75% dari 50% earmarked); (5) perbaikan manajemen klaim
fasilitas kesehatan (faskes) atau mitigasi fraud yang sesuai dengan strategic purchasing. (6) perbaikan sistem rujukan dan rujuk balik yang terus dioptimalkan; (7) cost sharing pada pelayanan yang berpotensi moral hazard; (8) mengenai strategic purchasing khususnya kapitasi berbasis kinerja dan verifikasi digital klaim (VERIKA) di rumah sakit; dan (9) sinergitas penyelenggara jaminan sosial di Indonesia.

“Strategi bauran kebijakan JKN ini diharapkan bisa menjaga suitability, fordabilitas, dan kualitas pelayan dan keinginan mengcover seluruh rakyat Indonesia,” ujar Sri Mulyani.

Kelima: Saya sependapat dengan ASB bahwa negara harus hadir (nawacita) tetapi tanggung sosial masyarakat juga harus terpelihara agar senada dengan fungsi sosial asuransi/jaminan kesehatan.

Sejalan dengan pencapaian jaminan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC) 2019, Indonesian Health System Group (IHSG) menawarkan upaya penyerta berupa Universal Risk Coverage (URC) dan Universal Cause Coverage (UCC) yang penekanannya berorientasi pada program-program pemerintah dalam pencegahan penyakit (preventif) dan promosi kesehatan (promotif) berbasis masyarakat misalnya Kawasan Tanpa Rokok (KTR), olahraga gembira saat car free day, lapangan buatan untuk jogging massal, dll.

Baca: Dinas Perdagangan Latih Pengrajin Perak di Makassar

Kebiasaan berolahraga ini (diartikan lebih luas oleh ASB sebagai gerakan hidup sehat), diharapkan dalam jangka panjang akan mengurangi defisit BPJS Kesehatan. Sehat itu mahal!

Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Rabu (04/09/2019)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved