OPINI
OPINI - Penerapan Bagi Hasil Syariah Sewa Menyewa
Bagi hasil dan bunga mempunyai banyak perbedaan, namun masyarakat menganggap itu sama saja padahal terdapat banyak perbedaan.
Oleh :
Rismawati
Mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Bagi hasil merupakan upaya untuk mencapai kemaslahatan umat yang berdasar dengan prinsip syariah.
Bagi hasil dan bunga mempunyai banyak perbedaan, namun masyarakat menganggap itu sama saja padahal terdapat banyak perbedaan.
Setelah memperoleh keuntungan usaha (laba), laba (profit) akan dibagikan sesuai kesepakatan pihak yang terlibat dengan usaha tersebut yaitu Shahibul Mal (pemilik modal) dan Mudarib (pengusaha).
Begitu juga sebaliknya, dan bila usaha mengalami kerugian maka akan ditanggung bersama secara adil.
Namun jika ada salah satu pihak hanya bisa mendapat keuntungan dan terbebas dari resiko rugi, berarti terdapat kezaliman dalam akad tersebut.
Pendapatan yang diperoleh dalam bagi hasil bersifat dinamis (mudah berubah) sesuai dengan keadaan usaha.
Keuntungan didapatkan dari persentase keuntungan bersih dan bukan dari modal. Besarnya persentase tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak.
Pembagian keuntungan dianggap sah apabila seluruh modal investor telah kembali seutuhnya.
Baca: Stand Ekspo Solidaritas Konservasi Alam Sulbar Sajikan Edukasi Masyarakat
Bagi hasil untuk kemaslahatan umat dengan prinsip syariah, dan prinsip syariah yaitu meliputi keadilan, maslahah dan keseimbangan, dan tidak melakukan transaksi yang mengandung kezaliman.
Dan mekanisme perhitungan bagi hasil meliputi (net revenue sharing) dan bagi untung (profit sharing). DSN MUI melalui Fatwa No.15/DSN-MUI/IX/2000 mengizinkan kedua metode tersebut.
Namun merekomendasikan bagi hasil dari total pendapatan kotor sebelum dikurangi dengan biaya operasional dibandingkan bagi untung berdasarkan laba bersih.
Salah satu masalah yang biasa timbul yakni pada kegiatan ijarah.
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu aset dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan asset itu sendiri.
Transaksi Ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan kepemindahan kepemilikan (hak milik).
Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Ijarah merupakan bentuk muamalah yang telah di atur oleh syariat Islam.
Sewa menyewa menjadi praktek muamalah yang masih banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari hingga saat ini. Secara etimologi, ijarah berarti “upah” atau “ganti” atau “imbalan”.
Sedangkan ijarah secara terminology yaitu pengambilan manfaat dari suatu benda dengan jalan penggantinya.
Baca: KPF Makassar Tumbuh Positif di Kwartal I 2019
Sistem Ijarah (sewa menyewa) yang dilakukan harus membawa manfaat bagi kedua belah pihak dan tidak merugikan. Aktivitas sewa menyewa juga harus dilandasi oleh rasa suka sama suka.
Apabila tidak ada persetujuan dari pihak penyewa dan orang yang menyewakan dianggap tidak sah karena bisa saja keputusan yang di ambil hanyalah satu keinginan dari salah satu pihak.
Uang muka bisa merugikan salah satu pihak dan mengurangi tujuan menciptakan kemaslahatan bagi sesama umat.
Kegiatan bisnis dalam sebuah perusahaan tujuannya adalah untuk memaksimalkan kekayaan dan membuat bisnisnya semakin berkembang.
Pada era sekarang, dunia bisnis menjadi semakin kompetitif, sehingga sebuah perusahaan dituntut untuk dapat beradaptasi agar kebangkrutan dapat terhindarkan dan tetap unggul dalam bersaing, agar bisnis yang dijalankan tetap dapat bersaing, maka harus selalu meningkatkan kinerja perusahaan mereka.
Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
Penerapan bagi hasil syariah pada skema ijarah ini kebanyakan warga sudah mempraktikkan sesuai dengan rukun dan syarat akad ijarah sebagaimana yang terjadi pada salah satu kantin di Makassar.
Baca: Tambak di Bontoa Maros Mulai Mengering, Warga Terancam Rugi
Dalam kasus ini, pihak yang menyewakan memungut sewa kepada pihak kantin dengan memberikan fasilitas kepada pihak penyewa.
Namun ada beberapa hal yang menjadi masalah yakni dalam penyewaannya semua pihak penyewa dikenakan tarif yang sama akan tetapi fasilitas yang diberikan tidak semuanya sama.
seperti beberapa kasus instalasi listrik rusak, air macet, gedung rusak.
Oleh karena itu baiknya dalam kasus ini perlu diperjelas fasilitas yang diberikan dan tarif yang dikenakan disesuaikan dengan fasilitas yang didapatkan sehingga ijarah tersebut menguntungkan kedua belah pihak.
Namun, kembali lagi ke fakta yang tidak semanis teori. Skema ijarah di lapangan belum sesuai ketentuan yang telah ditetapkan, sehingga masih perlu ditinjau kembali.(*)
Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Jumat (02/08/2019)