Opini
OPINI Aswar Hasan: Isu Fee Proyek dan Quo Vadis Transparansi di Sulsel
Penulis adalah dosen FISIP Unhas, Koordinator Pemantauan Putusan KIP Sulsel, dan aktif sebagai penggiat diskusi Forum Dosen Majelis Tribun Timur.
Fee hingga 30 persen tersebut, sudah lama menjadi praktik buruk birokrasi yang sejatinya sudah tidak terjadi lagi sejak digulirkannya reformasi birokrasi dan pemerintahan yang terbuka (open government) serta dibentuknya lembaga negara yang independen seperti Komisi Informasi yang ada di pusat dan di setiap provinsi (KIP).
Pelayanan birokrasi khususnya masalah perizinan bahkan diduga sengaja diperlambat, supaya pemohonan melakukan suap agar izin bisa segera diterbitkan oleh aparat birokrasi.
Bahkan boleh jadi, jika terjadi percepatan perzinan atas perintah atasan, patut ditengarai karena sudah ada panjar sogok sebagai pelicin.
Baca: Pimpin Upacara HKN, Wabup Gowa Ingatkan Angka Kematian Ibu di Indonesia Masih Tinggi
Birokrasi pelayanan publik di daerah, cenderung lamban tanpa standar waktu penyelesaian sehingga secara tidak langsung turut memicu praktik suap.
Kasus suap tidak hanya terjadi dalam perizinan dengan jumlah suap mencapai milyaran, tetapi juga terjadi di bidang pelayanan publik yang besarannya bisa mencapai hingga 52 persen (Kompas, 8 November 2018).
Basa-basi Transparansi
Praktik kongkalikong kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) sejatinya tidak lagi mendapat ruang dan kesempatan untuk terjadi di lingkup birokrasi.
Mengingat pemerintah secara politik telah berkomitmen untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang terbuka (open government) yang disertai dengan diterbitkannya Undang-Undang Keterbukaan Informasi (UU KIP No 14 Tahun 2018) yang dimanifestasikan dengan membentuk Komisi Informasi Provinsi (KIP) di setiap provinsi.
KIP memiliki tugas untuk menerima, memeriksa dan memutus permohonan penyelesaian sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap pemohon informasi publik.
Meskipun demikian, masih ada yang keliru duga, tidak terkecuali pejabat setingkat eleselon dua sekali pun, yang menganggap bahwa dengan hadir dan berfungsinya KIP di tingkat pemerintah provinsi, itu sudah dianggap sebagai indikatorprovinsi tersebut sudah berkomitmen untuk terbuka. Ini jelas salah kaprah.
Betapa tidak, karena keberadaan KIP merupakan kewajiban berdasarkan tuntutan Undang-undang, dan bukanlah merupakan underboard birokrasi, tetapi merupakan mitra strategis dalam mendorong keterbukaan informasi.
Baca: VIDEO: Kapolres Palopo Imbau Anggotanya Rajin Salat Jamaah
Karenanya, Tupoksi KIP mewajibkan Badan publik –birokrasi- untuk memenuhi tugasnya agar lebih transparan, baik secara passif, maupun secara aktif.
Meskipun pada kenyataannya, masih ada terdapat Badan Publik yang mengabaikan tugas dan peran KIP dalam mengawal dan memutus perkara sengketa informasi publik.
Secara passif artinya sebatas melayani/memberikan informasi yang diminta oleh publik tanpa memperlambat, mempersulit atau menyembunyikan informasi yang diminta.
Sementara itu, badan publik juga diminta untuk secara aktif minimal setiap 6 bulan untuk memberitahukan informasi publik yang dikuasainya secara berkala.
Contoh informasi yang wajib diumumkan secara berkala, adalah program, kegiatan, target dan realisasinya, serta ringkasan laporan keuangannya.