KLAKSON
Kolom Abdul Karim: Ishak Ngeljaratan Bukan Kotak Kosong
Penulis adalah mantan Direktur LAPAR Sulsel. Kini Senior Advisor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Wilayah Sulawesi Selatan.
Oleh: Abdul Karim
Penulis adalah mantan Direktur Lembaga Pendidikan dan Advokasi Rakyat (LAPAR). Kini Senior Advisor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Wilayah Sulsel.
AJAL tak bisa direka. Ia tak bisa ditafsir. Ishak Ngeljaratan (82) dijemput ajalnya saat matahari kehidupan baru beberapa jam menampakkan diri pada Senin, 16/7/2018 di Rumah Sakit Stella Maris Makassar.
Itu tak dapat ditafsir. Ilmu pengetahuan, harta, modernisasi dan kecanggihan teknologi tak kuasa menghalau ajal.
Ajal adalah batas. Batas yang tak dapat dilalui secenti pun oleh manusia. Tetapi ia bukan akhir.
Kita ingat, agama mengajarkan, kematian adalah jalan menuju kebangkitan abadi. Filosof Hegel pun pernah bilang; “kebangkitan kembali adalah universalitas”.
Ishak Ngeljaratan adalah sosok universalitas. Ia meletakkan kemanusiaan sebagai universalitas.
Ia memperjuangkan kebebasan manusia, sebab ia paham bagaimana getirnya hidup tanpa kebebasan. Baginya, kebebasan adalah jalan menghirup kemerdekaan.
Baca juga: Opini Aswar Hasan: Kolom Kosong Rasa Petahana
Baca juga: OPINI: Problematika Tata Ruang Usai Pilwali Makassar
Pada awal Orde baru menancap kaki kekuasaannya, buku-buku Ishak pernah diberangus. Di situ, kebebasan terberangus, dan pada akhirnya kemerdekaanpun hangus.
Karena itu, bagi Ishak, kebebasan dan kemanusiaan mesti diperjuangkan. Ia bukan hadiah. Ia tak dapat dinanti seperti halnya menunggui datangnya kekasih.
Ia tak cukup dihadirkan dengan lantunan doa-doa kitab suci.
Kemanusiaan sebagai universalitas dan kemerdekaan yang haram ditekan ditunjukkan Ishak dalam berbagai bentuk fikirannya.
Di segala forum, ia pun menyerukan perbedaan tak boleh menjadi penyebab retaknya relasi kemanusiaan. Ia menganjurkan kerukunan dan perdamaian ditengah keragaman.
Ishak paham bahwa multikulturalitas dan atau pluralitas bukanlah kelemahan, tetapi ia sebagai kekuatan nyata. Untuk apa?
Untuk mewujudkan tata kemanusiaan dengan nilai-nilai universalitas serta ciri kemerdekaan dan kedamaian.
Memperjuangkan itu semua harus ditunaikan tanpa kekerasan. Seperti halnya Mahatma Gandhi, Ishak menolak kekerasan dengan segala alasan.
Sebab kekerasan kontraproduktif dengan nilai-nilai universalitas kemanusiaan. Dan bagi Ishak, kekerasan merontokkan keimanan.
Dalam hal keimanan, gagasan Ishak menyerupai pemikiran Gus Dur. Kita ingat, ucapan Gus Dur pada suatu waktu; “saya dan Romo Mangun berbeda agama, tapi satu iman,”.
Iman bagi kedua sosok ini bukanlah sebuah benteng kekar dan tertutup. Sebab benteng adalah tanda kecemasan dan kekuasaan.
Iman bagi mereka adalah sebuah obor yang tak pernah padam, menerangi gelapnya kebudayaan manusia.
Kebudayaan adalah proses yang tak pernah usai, karena itu ia memerlukan konsistensi. Ishak Ngeljaratan mengiktibarkan konsistensi dan kesederhaan yang bersahaja.
Dengan keterbatasannya, ia menjangkau mereka yang bukan kaumnya dengan angkutan umum, seraya melintasi ruang dan waktu tanpa peduli umur.
Tetapi Senin kemarin, umur Ishak usai. Namun, Ishak tak pernah mati.
Ia senantiasa hadir dalam jiwa para pejuang kemanusiaan, kebebasan, kemerdekaan, keragaman dan perdamaian.
Dengan ini semua, kita paham bahwa Ishak bukanlah kotak kosong. Ia pergi mewariskan isi tentang nilai-nilai kemanusiaan universal itu. (*)