Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Opini Aswar Hasan: Kolom Kosong Rasa Petahana

Siapa sesungguhnya yang zalim di Pilwali Makassar? Makna kata zalim adalah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Editor: Jumadi Mappanganro
TRIBUN TIMUR/HASRUL
Ketua Komisi Informasi Publik (KIP) Sulawesi Selatan (Sulsel) Aswar Hasan 

Oleh: Dr Aswar Hasan
Anggota Forum Dosen dan Pengajar Komunikasi Politik Departemen Ilmu Komunikasi Fisip Unhas.

Dunia perpolitikan Indonesia kaget. Baru pertama kali dalam sejarah pilkada di Indonesia dan mungkin di dunia, kolom kosong menang dan itu terjadi di Makassar.

Ada yang mengatakan itu bukti rakyat berdaulat di Makassar dan telah rasional dalam berdemokrasi sehingga dengan leluasa menggunakan ruang TPS sebagai tempat yang aman dan bebas untuk mengekspresikan kemerdekaannya dalam menghukum partai politik dan/atau elitenya.

Adakah kesimpulan demikian sepenuhnya benar? Jika melihat faktanya boleh jadi ya.

Namun, jika mencermati prosesnya, maka setidaknya dapat ditemukenali ada beberapa faktor penyebab (bukan karena faktor tunggal) sehingga kemenangan kolom kosong (koko) terjadi secara mengejutkan sekaligus mengecohkan.

Lazimnya kolom kosong kalah karena melawan petahana. Hal itu disebabkan petahana dapat dengan mudah memborong partai karena hubungan fungsionalnya dengan partai-partai selama berkuasa.

Baca juga: Pindah ke Nasdem, Putri SYL Mundur dari DPR RI

Baca juga: Pangdam Agus Mengaku Kehilangan Sosok Ishak Ngeljaratan

Ditambah lagi dengan prestasinya selama memerintah disokong oleh kekuatan jaringan finansial dari mitra pembangunan dan back-up mesin birokrasi, berikut modal index persepsi popularitas dan elektabilitas survei yang tinggi, karena relatif dianggap berhasil.

Sebab jika publik menilainya gagal, tentu berfikir ulang untuk maju lagi. Dengan demikian, rata-rata petahana di Pilkada Indonesia memborong partai, lalu hanya melawan kotak kosong dan umumnya mereka keluar sebagai pemenang.

Berbeda halnya dengan pilkada di Kota Makassar.

Justru, Wali Kota Muhammad Ramdhan (Danny) Pomanto sebagai calon petahana tidak mendapat (tidak didukung) oleh partai yang cukup untuk maju sebagai paslon di Pilwalkot Makassar.

Dalam situasi ini, ada anomali politik atas berjamaahnya segenap parpol untuk tidak mendukung petahana.

Padahal, jauh sebelum tahapan pilkada, sejumlah parpol telah merapat ke Danny Pomanto (DP).

Namun, pada saat memasuki tahapan penentuan usungan partai, segenap partai meninggalkan DP dan berjamaah mendukung pasangan penantangnya, Munafri Arifuddin dan Andi Rahmatika Dewi (Appi-Cicu).

Akibatnya, DP yang memilih berpasangan Indira Mulyasari dari Partai Nasdem yang kemudian dikenal dengan akronim DIA-MI memilih jalur independen.

Baca juga: OPINI: Problematika Tata Ruang Usai Pilwali Makassar

Baca juga: OPINI: Mengenal Had Kifayah

Anomali Politik
Menjadi tanda tanya mengapa segenap partai menalak tiga DP. Bagaimana mungkin terjadi kegagalan komunikasi politik yang dibangun sejak awal?

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved