Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

opini

OPINI: Pilkada Langsung dan Partai Politik

Karena itu, kehadiran parpol lokal adalah sebuah keniscayaan sekaligus konsekuensi desentralisasi.

Editor: Jumadi Mappanganro
handover
Asri Tadda 

Oleh: Asri Tadda
Mahasiswa Program Magister Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Desentralisasi yang dicanangkan melalui UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan angin segar untuk percepatan pembangunan negara pada berbagai aspek.

Kabupaten dan kota diberikan otonomi yang luas untuk mengatur dan mengelola wilayahnya masing-masing, termasuk melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada langsung).

Dewasa ini pilkada langsung dianggap sebagai sebuah prestasi dalam pembangunan demokrasi di negara kita. Pilkada langsung menjadi tonggak bersejarah dimana rakyat bisa ‘memilih’ pemimpinnya sendiri secara langsung.

Pada Juni mendatang, pilkada langsung kembali akan digelar serentak di 171 daerah (17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota) di Indonesia yang melibatkan sekitar sekitar 160 juta pemilih.

Angka tersebut adalah 85 persen dari prediksi jumlah pemilih dalam pemilu 2019 mendatang. Di balik gegap gempitanya pilkada langsung, ternyata tersimpan banyak catatan, khususnya ketika kita mau secara jujur melihat output yang dihasilkan dari proses ini.

BACA JUGA: OPINI: Money Politic, Regulasi Setengah Hati

BACA JUGA: OPINI: Coklit dan Kultur Pemilih Kita

Selain kerap memicu konflik horizontal antar warga, pilkada langsung juga sarat dengan praktik money politics yang justru menciderai nilai demokrasi itu sendiri. Belum lagi ketika kita menyoal kualitas pemimpin daerah yang lahir dari proses ‘berbiaya tinggi’ tersebut.

Tidak sedikit daerah yang mengalami banyak kendala dalam proses pembangunan justru pada era pilkada langsung dewasa ini. Budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) ternyata juga ikut terdesentralisasi, bukan tereduksi sebagaimana diharapkan.

Ini dikuatkan oleh banyaknya kasus OTT melibatkan kepala daerah beberapa waktu belakangan. Sebagai catatan, KKN adalah fenomena gunung es, yang muncul ke permukaan hanyalah secuil saja dibanding yang sebenarnya. Sungguh ngeri membayangkan hal ini.

Selain itu, pilkada langsung juga membuat legitimasi kepala daerah terasa begitu tinggi sehingga membuat DPRD kehilangan power menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan. Akibatnya sudah bisa ditebak; DPRD tidak lebih hanya menjadi formalitas pemerintahan daerah.

Padahal dengan kewenangan luas mengelola pembangunan di daerahnya, seorang bupati/walikota sepatutnya mendapatkan pengawasan ketat dari DPRD. Tanpa pengawasan yang baik, niscaya pembangunan di daerah tersebut akan berjalan timpang dan amat lekat dengan penyelewengan.

Paling menyedihkan jika ternyata kepala daerahnya juga kurang cakap menjalankan roda pemerintahan sementara pengawasan DPRD juga lemah atau malah terlibat kompromi politik.

Inilah wajah demokrasi kita selama beberapa tahun terakhir. Karenanya, saya pribadi lebih menyukai pilkada melalui DPRD dengan berbagai alasan.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved