Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Apdesi Sulsel Tolak Inpres 17/2025, Sebut Rugikan Desa

Apdesi Sulsel tolak Inpres 17/2025 soal koperasi desa. Skema dinilai sentralistik dan hambat pencairan Dana Desa.

Penulis: Renaldi Cahyadi | Editor: Sukmawati Ibrahim
Meta AI
KOPERASI MERAH PUTIH – Ilustrasi koperasi merah putih by MetaAI. Ketua Apdesi Sulsel, Sri Rahayu Usmi, saat ditemui di Hotel Aerotel Smile beberapa waktu lalu. Apdesi menolak Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2025 karena dinilai merugikan desa. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Sulawesi Selatan secara terbuka menolak pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDKMP).

Instruksi tersebut mengatur pembangunan gerai, pergudangan, dan kelengkapan koperasi, serta menugaskan PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) sebagai pelaksana utama proyek.

Ketua Apdesi Sulsel, Sri Rahayu Usmi, menyebut aturan itu merugikan desa dan menimbulkan keresahan di kalangan perangkat desa.

“Apdesi Sulsel menolak Inpres ini karena tidak berpihak pada desa,” katanya, Senin (27/10/2025).

Ia mengaku, banyak pengurus desa ingin mundur dari koperasi karena khawatir terseret masalah hukum akibat aturan tidak jelas.

“Karena takut terseret masalah hukum akibat aturan yang tidak jelas arah dan tanggung jawabnya,” ungkapnya.

Baca juga: TKD Luwu 2026 Anjlok Rp228,57 Miliar, Dana Desa Turun Drastis

Ayu menilai skema pelaksanaan menempatkan PT Agrinas sebagai pelaksana utama adalah bentuk sentralisasi yang mencederai kemandirian desa.

Dalam aturan itu, hingga 30 persen Dana Desa dijadikan jaminan proyek dan dikelola pihak luar tanpa musyawarah desa.

“Dana Desa bukan untuk dijaminkan, apalagi dikelola pihak luar. Kalau dana sudah masuk rekening desa tapi dikendalikan orang luar tanpa musyawarah, itu pelanggaran,” ujarnya.

Ia juga mengecam pembangunan fisik koperasi dinilai terburu-buru tanpa kajian potensi ekonomi lokal.

“Fokusnya harusnya pada pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kapasitas pengelola, bukan langsung bangun gudang yang belum tentu bermanfaat,” katanya.

Ayu menyebut, kebijakan Kopdes Merah Putih justru menghambat pencairan Dana Desa di sejumlah wilayah.

Banyak desa melapor proses administrasi lebih rumit karena harus menyesuaikan aturan baru.

“Pencairan Dana Desa tersendat. Banyak kegiatan pemberdayaan dan pembangunan warga yang akhirnya mandek. Ini sangat merugikan desa,” jelasnya.

Ia mendesak pemerintah menunda pelaksanaan Inpres 17/2025 hingga 2026, mengingat sebagian desa sudah mencairkan dana sebelum regulasi diterbitkan.

“Apa yang terjadi di lapangan berbeda jauh dari niat baik Presiden Prabowo. Kami dukung semangat beliau, tapi pelaksanaan di lapangan justru menyalahi arah kebijakan itu,” ujarnya.

Apdesi Sulsel juga mendesak DPR RI dan Kementerian Koperasi dan UKM segera menggelar rapat dengar pendapat (RDP) membahas keresahan pengurus desa.

“Desa harus dilibatkan sejak awal, bukan hanya jadi objek kebijakan,” tegasnya.

Bendahara Apdesi Sulsel, Ibnu Hajar, mengatakan rapat kerja Apdesi menghasilkan beberapa rekomendasi.

"Segala bentuk kegiatan koperasi yang menjadikan Dana Desa sebagai jaminan harus berdasarkan musyawarah desa dan aspirasi masyarakat, bukan regulasi dari atas," katanya.

Ia menegaskan, regulasi baru tidak boleh menghambat pencairan Dana Desa.

Pelaksanaan Koperasi Merah Putih sebaiknya dimulai serentak pada 2026.

Pengamat pemerintahan, Bastian Lubis, menilai pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes MP) berpotensi menimbulkan masalah serius dalam tata kelola keuangan desa.

Menurutnya, selama ini mekanisme penyaluran dana ke desa sudah memiliki aturan dan sistem berjalan baik. 

Setiap desa juga telah memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) berfungsi mengelola usaha produktif demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Mekanisme penyaluran dana ke desa itu sudah ada dan berjalan baik. Setiap desa rata-rata punya BUMDes yang berfungsi mencari laba untuk kesejahteraan masyarakat desa,” katanya saat dikonfirmasi tribun, Senin (27/10/2025). 

Namun, ia menilai kebijakan baru mewajibkan desa membangun gerai koperasi melalui skema Kopdes Merah Putih justru membebani desa dan menimbulkan risiko hukum.

“Kalau sekarang BUMDes dibebani dengan kewajiban membangun gerai koperasi, itu masalah besar. Tidak ada standar yang jelas, apalagi kalau jaminannya diambil dari 30 persen Dana Desa. Itu tidak benar dan sangat berisiko,” tegasnya.

Bastian mengingatkan, dalam penyusunan regulasi, pemerintah semestinya mempertimbangkan dampak jangka panjang dan kondisi riil di lapangan.

Ia menilai Presiden kemungkinan tidak mendapatkan informasi utuh sebelum mengeluarkan instruksi tersebut.

“Dana itu adalah uang desa. Tidak bisa diterapkan begitu saja secara menyeluruh ke semua desa, karena setiap wilayah punya kondisi yang berbeda. Kalau dipaksakan, ini sama saja dengan sentralisasi ulang,” ujarnya.

Ia menambahkan, skema seperti ini bisa menciptakan tumpang tindih tanggung jawab.

Meski dana dikirim ke rekening desa, pelaksana kegiatan berasal dari pihak luar, namun pertanggungjawaban tetap dibebankan kepada kepala desa.

“Ini sangat rawan korupsi. Orang lain yang melaksanakan, tapi kepala desa yang harus bertanggung jawab. Itu keliru dan berpotensi menjadi masalah hukum di kemudian hari,” tutupnya. (*)

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved