Opini
Character Building dan Mentoring di Era Digital
Beberapa siswa yang tengah sembahyang pun turut menjadi korban sehingga perlu segera dilarikan ke rumah sakit sekitar sekolah.
Oleh: Dr. Ir. N. Tri Suswanto Saptadi, S.Kom., MT., MM., IPM.
Dosen Universitas Atma Jaya Makassar (UAJM), Tim Komkep KAMS / Koord. ISKA Wilayah Sulawesi, Ketua IKDKI Wilayah SulSelTraBar
TRIBUN-TIMUR.COM - Peristiwa ledakan bom yang terjadi pada saat ibadah Jum’at siang (7/11) di masjid SMA Negeri 72 Jakarta yang berdomisili di Kelapa Gading Jakarta Utara merupakan sebuah keprihatinan bagi perkembangan dunia pendidikan Indonesia di era digital.
Beberapa siswa yang tengah sembahyang pun turut menjadi korban sehingga perlu segera dilarikan ke rumah sakit sekitar sekolah.
Tim penjinak bom (Jibom) dikerahkan untuk olah TKP. Dari hasil penyelidikan, ditemukan bahwa pelaku berusia 17 tahun.
Seorang siswa telah menjadi fokus utama dari pihak yang berwajib sehingga kemudian menjadikannya tersangka dan ditetapkan sebagai pelaku berdasarkan hasil pemeriksaan sejumlah saksi dan penemuan berbagai material di lokasi kejadian.
Barang bukti yang ditemukan antara lain paku baja, baterai, remote control, serpihan plastik (diduga dari bom rakitan). Secara khusus pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan perlunya trauma healing untuk para siswa.
Tindakan Ekstrem
Masyarakat serta pemerintah turut berduka dan sangat prihatin dengan peristiwa ini karena terjadi di sekolah yang sejatinya merupakan tempat untuk pembelajaran siswa dalam mempersiapkan masa depan.
Beberapa pihak juga dibuat heran, bingung, tak menduga, dan menyayangkan dengan tindakan ekstrem yang telah dilakukan seorang siswa SMA tersebut.
Pertanyaan kemudian muncul terkait dengan bagaimana kehidupan dan aktivitas pelaku yang berhubungan dengan kondisi sosial, psikologis, dan pendidikan selama ini?
Peristiwa ini menjadi semakin ironis, tatkala pelaku adalah siswa sekolah yang masih di bawah umur.
Sumber informasi dari pemberitaan media massa telah mengisyaratkan bahwa pelaku peledakan diduga merupakan korban perundungan (bullying) yang belum mempunyai ruang aman dan dapat berlindung.
Begitu tidak terbukanya terhadap persoalan bullying yang tengah dihadapi sehingga membuat siswa tersebut pada akhirnya mengalami suatu repressing psikis yang menimbulkan perasaan dikeluarkan dari komunitas, kurang dihargai, hingga dikucilkan.
Faktor utama dari pelaku bullying dikarenakan oleh rasa ingin mendominasi atau merasa paling berkuasa, meniru perilaku di rumah, kurangnya empati, insecure dan low self-esteem, serta ingin diterima kelompok.
Sementara faktor penentu dari sisi korban bullying adalah perbedaan fisik atau penampilan, anak pendiam atau sulit membela diri, perbedaan sosial-ekonomi dan ketidaksesuaian dengan norma kelompok.
Tantangan Era Digital
Literasi digital merupakan kemampuan seseorang mengakses, memahami, mengevaluasi, dan menciptakan konten secara digital, serta menggunakan teknologi dengan etika dan tanggung jawab.
Di Indonesia, literasi menjadi program prioritas nasional di mana sejalan dengan growth in internet penetration dan digital transformation.
Dinamika yang terjadi, memiliki challenges dan opportunities sehingga muncul berbagai persoalan nyata yang menunjukkan bahwa literasi belum sepenuhnya dilaksanakan secara efektif, terstruktur, dan terpadu.
Terdapat challenge yang terjadi seperti internet access, krisis literasi digital (critical, ethical, security), education gap, talent digital skills, social trust, AI capabilities, educational content initiatives, digitalization of learning, hingga assistance di era digital.
Character Building Mentoring
Sekolah memiliki tanggung jawab dalam pembinaan karakter serta menciptakan lingkungan aman, dan mencegah kekerasan.
Pendampingan pembentukan karakter (character building mentoring) siswa dilaksanakan melalui aktivitas pengawasan, pendidikan, dan dukungan psikososial untuk menghadapi berbagai potensi gangguan dan ancaman.
Sekolah berperan melakukan upaya pencegahan dan monitoring di lingkungan sekitar, mengedukasi dan literasi sosial-emosional, membuat kebijakan anti-bullying yang tegas dan terukur, mengupayakan pemulihan dan trauma healing, serta melakukan kerja sama dengan aparat penegak hukum.
Orang tua memiliki peran dalam character building dengan membangun komunikasi dan dukungan emosional di rumah, pemantauan aktivitas digital, kolaborasi dengan pihak sekolah, dan mendukung rehabilitasi korban dan pelaku.
Selain itu masyarakat juga perlu memainkan peran strategis dalam build social awareness dan engagement, memberikan dukungan trauma healing skala besar, menciptakan ruang komunikasi dengan pemerintah dan sekolah, hingga melakukan pengawasan dan pelaporan terjadinya bahaya.
Makna Peristiwa Bom
Peristiwa bom di lingkungan sekolah sejatinya bukan hanya kejadian tragis semata yang menimbulkan luka fisik, batin, dan psychological trauma, tetapi juga merupakan sebuah reflection penting tentang kondisi pendidikan, sosial, dan emosional siswa masa kini di era digital dan information openness.
Bagi masa depan siswa, kejadian ini membawa beberapa makna mendalam seperti pentingnya sense of security sebagai dasar belajar.
Sehingga sekolah bukan sekadar tempat dalam memperoleh knowledge dan skills semata tetapi harus menjadi ruang character building dan mentoring yang akan mempunyai dampak psikologis lebih mendalam bagi siswa sekolah seperti self-confidence, quality of learning, social relations, interpersonal communication, dan persepsi tentang masa depan.
Makna peristiwa bom menjadi tanda bahwa kesehatan mental siswa sekolah perlu menjadi prioritas dengan kehadiran ruang digital dan terdapatnya pengawasan dalam penggunaan digital.
Upaya dalam create awareness tentang value of life, dan empathy merupakan momentum membangun budaya sekolah yang lebih kuat, tangguh, dan peduli, serta pengingat bahwa masa depan siswa ditentukan oleh ekosistem sosial.
Pengawasan dan Pencegahan
Belajar dari peristiwa ledakan bom, maka kini terdapat expectation yang menjadi upaya preventif dan konstruktif dalam berpikir, yaitu melakukan kolaborasi antara pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat.
Kolaborasi dilakukan dengan terciptanya sistem pengawasan, character building, serta dukungan emosional yang lebih kuat sehingga insiden serupa tidak terulang dan lingkungan belajar menjadi jauh relatif lebih kondusif, aman dan terjamin.
Kegiatan Day of Artificial Intelligence (DOAI) memberikan literasi digital bagi perkembangan siswa sekolah agar dapat digunakan sebagai laporan, makalah, atau policy recommendations seperti program edukasi literasi digital yang terstruktur, pelatihan cyber security untuk siswa, pendidikan social media ethics, dan keterampilan critical thinking terhadap akses informasi.
Character building melalui penyelenggaraan workshop kreativitas dan produktivitas digital, dan building classroom culture.
Kegiatan ini perlu memahami dampak psikologis media digital, pelibatan orang tua dalam literasi, penguatan security system dan pengawasan digital sekolah, pembentukan duta literasi, dan kerjasama sekolah, kementerian komdigi, kepolisian, dan komunitas digital.
Berlaku peribahasa “efforts to maintain fences before pests destroy fields”, berarti memastikan lingkungan sekolah aman melalui pengawasan dan pencegahan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/2025-11-17-Dr-Ir-N-Tri-Suswanto-Saptadi.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.