Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Putusan MK, Polisi Aktif, dan Rebutan Kursi Sipil

Namun bagi konstitusi, inilah perbaikan besar terhadap praktik panjang yang merusak batas antara kewenangan sipil dan kepolisian.

Editor: Sudirman
 Rusdianto Sudirman/Tribun Timur
PENULIS OPINI -  Rusdianto Sudirman. Ia mengirim fotonya ke tribun-timur.cm untuk melengkapi opini berjudul 'Diskresi Gus Yaqut Dalam Isu Kuota Haji'. Ia merupakan Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare 

Putusan MK, Polisi Aktif, dan Rebutan Kursi Sipil

Oleh: RusdiantoSudirman, Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare 

TRIBUN-TIMUR.COM - Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 114/PUU-XXIII/2025 mengenai larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil adalah pukulan keras bagi pola birokrasi yang selama ini dibiarkan berjalan tanpa koreksi serius.

Dengan putusan tersebut, Mahkamah menegaskan bahwa polisi aktif yang ingin menjabat di lembaga sipil harus mundur atau pensiun. Tidak boleh lagi bersandar pada penugasan. Tidak boleh lagi memakai seragam sambil duduk di kursi sipil.

Putusan ini mungkin tampak sederhana. Namun bagi konstitusi, inilah perbaikan besar terhadap praktik panjang yang merusak batas antara kewenangan sipil dan kepolisian.

Mahkamah membatalkan frasa yang selama ini menjadi alasan untuk mempertahankan rangkap jabatan itu, dan mengembalikan relasi sipil kepolisian ke jalur demokrasi yang benar.

Selama bertahun-tahun, pemerintah membiarkan ratusan bahkan ribuan polisi aktif mengisi jabatan sipil.

Mereka ditempatkan di kementerian, lembaga pemerintah, kantor daerah, hingga perusahaan negara. Semua itu berjalan dengan dalih penugasan, seolah jabatan sipil adalah ruang tambahan dari struktur komando kepolisian.

Situasi ini menimbulkan ketidakadilan bagi aparatur sipil negara yang harus bersaing tidak seimbang dengan aparat kepolisian aktif.

Mereka berhadapan dengan pengaruh institusi, jaringan, dan kultur komando yang tidak dimiliki oleh pegawai sipil.

Yang terjadi bukan sekadar ketimpangan kompetisi, tetapi mengaburnya batas tegas antara fungsi keamanan dan fungsi administrasi sipil.

Mahkamah memutuskan rantai kelaziman itu. Frasa penugasan dicabut, dan jabatan sipil kembali menjadi domain sipil.

Negara akhirnya berhenti berpura-pura bahwa suatu penjelasan undang undang bisa menyingkirkan prinsip dasar demokrasi.

Menurut Penulis, Putusan Mahkamah membawa tiga makna pokok bagi demokrasi kita.Pertama, Mahkamah mempertegas netralitas pemerintahan.

Kepolisian tidak dapat menjalankan fungsi koersif sambil menempati jabatan sipil. Campur tangan seperti itu melemahkan integritas sistem administrasi negara.

Kedua, putusan ini memulihkan asas meritokrasi. Pegawai sipil kini kembali memiliki ruang kompetisi yang adil, tanpa harus bersaing dengan aparat negara bersenjata yang membawa kekuatan komando.

Ketiga, Mahkamah mengembalikan kepastian hukum. Dengan menegaskan bahwa rangkap jabatan tidak sah tanpa pengunduran diri atau pensiun, Mahkamah menutup ruang tafsir yang selama ini disalahgunakan.

Putusan ini berlaku langsung. Tidak ada masa transisi. Tidak ada ruang tawar menawar administratif.

Begitu diucapkan, frasa yang membolehkan penugasan itu gugur dengan sendirinya. Konsekuensinya jelas. Seluruh anggota Polri aktif yang kini tengah menduduki jabatan sipil wajib memilih.

Tetap sebagai polisi atau melepas keanggotaan untuk menjadi pejabat sipil penuh. Keduanya tidak dapat dilakukan bersamaan.

Namun gejala yang muncul klasik. Pemerintah bergerak pelan, sebagian lembaga memilih diam, sebagian lain menunggu arahan. Semua ini menandakan risiko lama, putusan konstitusi dihormati, tetapi tak dijalankan.

Putusan MK ini tidak berdampak pada segelintir orang. Ia menghantam langsung 4 351polisi aktif yang kini menduduki jabatan sipil.

Dampaknya tidak sederhana. Ada puluhan lembaga pusat dan daerah yang saat ini bergantung pada pejabat dari kepolisian untuk mengisi posisi penting.

Ada unit kerja yang dipimpin oleh perwira tinggi, ada perusahaan negara yang manajemennya dipegang polisi aktif, ada struktur koordinasi yang selama ini berjalan karena keberadaan mereka.

Dengan putusan Mahkamah 4.351 polisi aktif itu wajib menentukan sikap secara tegas, kembali ke tugas kepolisian atau melepas status keanggotaan untuk menjadi pejabat sipil penuh.

Lembaga tempat mereka bekerja harus menata ulang struktur dan menyiapkan pengganti dari kalangan sipil.

Pemerintah harus mengelola konsekuensi administratif dan keuangan, mulai dari urusan pensiun dini hingga pengisian jabatan yang kosong.

Jika pemerintah bergerak lambat, seluruh lembaga yang mempekerjakan polisi aktif berada dalam posisi hukum yang rapuh karena jabatan itu berada di atas landasan yang telah dicabut Mahkamah.

Implikasinya jauh lebih besar daripada sekadar koreksi frase undang undang. Ini adalah penataan ulang besar besaran atas tatanan kepegawaian negara.

Menurut Penulis, Agar putusan Mahkamah tidak berhenti sebagai teks, beberapa langkah harus segera dijalankan.

Presiden perlu mengeluarkan instruksi yang mewajibkan seluruh lembaga negara melakukan pendataan serta menarik polisi aktif dari jabatan sipil.

Kapolri perlu mengeluarkan perintah internal yang tegas bagi seluruh personel yang tengah menjabat di posisi sipil untuk segera menentukan status.

Kementerian yang mengurusi aparatur negara perlu menyiapkan mekanisme transisi yang rinci dan manusiawi, termasuk skema pensiun dini yang jelas.

Dewan Perwakilan Rakyat harus mengambil peran pengawasan. Jika proses ini mandek, rakyat berhak tahu siapa yang melawan putusan konstitusi.

Media dan masyarakat sipil harus terus menyorot implementasi putusan ini. Tekanan publik adalah bahan bakar utama agar birokrasi tidak kembali ke kebiasaan lama.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 ini adalah momentum yang jarang muncul. Ia memberi kesempatan bagi negara untuk memperbaiki garis batas kekuasaan, membersihkan praktik rangkap jabatan, dan memperkuat demokrasi.

Jika pemerintah menjalankannya dengan disiplin, reformasi struktural akan bergerak maju. Tetapi jika dibiarkan melambat, negara kembali terjebak pada kompromi lama.

Putusan ini tidak boleh berhenti sebagai pernyataan hukum. Ia harus menjadi tindakan nyata. Inilah saatnya negara menunjukkan keseriusan menjalankan konstitusi.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved