Opini
Ketika Negara Memberi Trauma
Penyebab maraknya kasus bunuh diri berkorelasi dengan tingginya angka kejadian gangguan mental.
Ketika Negara Memberi Trauma
Oleh: dr.Ratih Paradini (Dokter, Penulis)
Kabar duka dalam dua bulan belakangan memenuhi portal berita lokal Kota Makassar.
Di bulan Agustus seorang mahasiswi berinisial VY ditemukan meregang nyawa dengan kondisi tergantung di kamar kosannya di kawasan BTP.
Di bulan selanjutnya Mahasiswi berinisial BK mengalami hal serupa, menurut keterangan teman korban, BK sedang mengalami tekanan mental karena sedang menyelesaikan skripsinya dan kerap bertengkar dengan kekasihnya.
Kasus ini menjadi cerminan betapa maraknya kasus bunuh diri di Indonesia.
Data yang dihimpun dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI menunjukkan Tingkat kejadian bunuh diri di Indonesia meningkat hingga 60 persen dalam 5 tahun terakhir.
Pada tahun 2020 misalnya ada 640 kasus yang terlaporkan, kemudian di tahun 2023 melonjak hingga 1.288 kasus. (data.goodstats.id 25 Oktober 2024)
Penyebab maraknya kasus bunuh diri berkorelasi dengan tingginya angka kejadian gangguan mental.
Adapun gangguan mental penyebabnya multifaktorial mulai dari aspek biologis, psikis, sosial, ekonomi hingga faktor spiritual turut berperan.
Maraknya mahasiwa yang mengalami tekanan mental hingga berakhir bunuh diri, patut diduga ada yang perlu diperbaki dalam sistem pendidikan kita.
Kampus seharusnya menjadi ruang memupuk harapan meraih cita, bukan malah jadi tempat terjadinya trauma.
Tugas-tugas akademik yang membebani, kasus perundungan yang keji, ditambah masalah ekonomi akibat biaya pendidikan yang semakin meninggi , semua berpadu menjadi racikan sempurna untuk terjadinya depresi maupun gangguan mental lainnya.
Terlebih ketika sistem pendidikan berbasis sekularisme hari ini hanya menjadikan pencapaian akademis sebagai standar dan tujuan, kesuskssan hanya diukur dari angka-angka namun luput membentuk adab dan inetrgasi moral.
Negara Membebani Mental Warga
Maraknya fenomena bunuh diri yang merefleksikan maraknya gangguan mental yang terjadi.
Hal ini bukan sekedar masalah pribadi melainkan tentang bagaimana negara ini dijalankan.
Ketika negara gagal memberikan kesejahteraan dimana lapangan pekerjaan sulit, urusan birokrasi yang berbelit hingga pajak yang mencekik itu bisa membuat warga merasa tertekan.
Bukan hanya dalam aspek ekonomi saja, bila negara gagal menciptakan keadilan, marak kriminalitas dan kesenjangan sosial, maka hal itupun menjadi faktor rakyat bisa frustasi.
Walhasil trauma tercipta bukan sekedar karena pengalaman katastrofik melainkan kegagalan negara yang sifatnya sistematik. Negara yang seharusnya jadi tempat berpijak, malah menjadi beban di pundak.
Sistem Kapitalisme Merusak Mental Manusia
Potret negara seperti itu rentan dialami oleh negara dengan prinsip ideologi sekularisme kapitalisme.
Dalam sekularisme prinsip pemisahan antara agama dan kehidupan menjadikan masyarakat tumbuh dengan mengerdilkan aturan-aturan Tuhan.
Persoalan agama hanya diambil dalam ranah ibadah ritual, sedangkan dalam persoalan kehidupan, ajaran agama ditinggal.
Ini menjadikan manusia ketika ditimpa cobaan atau tekanan akan mudah goyah dan menyerah.
Terlebih dalam pandangan sekularisme kebahagiaan dimaknai sekadar untuk mendapatkan materi, sehingga bila seseorang kurang dari sisi ekonomi akan menjadikannya merasa sengsara, dia akan luput mensyukuri hal-hal kecil dalam hidup yang selanjutnya membuatnya rentan mengalami gangguan kesehatan mental.
Potret Negara Islam Menjaga Kesehatan Mental
Di era Khilafah Harun Ar-Rasyid sekitar anak ke 9 Masehi, telah didirikan Bimaristan sebuah Rumah Sakit menyediakan layanan rawat inap untuk pasien dengan gangguan jiwa.
Begitu pula Bimaristan al-Qalawun yang didirikan tahun 1284 M di Kairo fasilitas kesehatan jiwanya dilengkapi dengan musik terapi, taman, dan air mancur untuk menenangkan pasien.
Fasilitas RS yang disediakan oleh negara tanpa memungut bayaran dari pasien.
RS ini didirikan oleh wakaf ummat ataupun pembiayaan dari Baitul mal (kas negara Khilafah).
Hal ini berangkat dari sistem kesehatan dalam Islam yang jauh dari konsep komersialisasi sebab Islam memandang kesehatan adalah kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara.
Sistem Pendidikan Islam Membentuk Ketahanan Mental
Begitu pula dalam aspek pendidikan. Islam memberikan fasilitas layanan pendidikan yang gratis dan berkualitas serta gaji guru yang tinggi untuk mewujudkan optimalisasi dalam mendidik generasi.
Pendidikan Islam berorientasi Al-Qur'an tidak hanya fokus mengembangkan kepakaran dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga tidak luput mendidik manusia menjadi makhluk berakhlak mulia dan bermanfaat untuk sesama.
Hal ini karena pendidikan Islam mengintegrasikan nilai-nilai Al-qur'an dengan ilmu sains dan teknologi.
Dengan integrasi ini pula Islam menanamkan konsep-konsep hidup yang benar.
Islam mengajarkan konsep kebahagiaan bukan dengan materi melainkan meraih ridho ilahi.
Islam juga memiliki konsep takdir, sabar,syukur, tawakal dan ikhlas yang dengan pemahaman tersebut membuat manusia mampu bersikap optimis dalam menghadapi segala ujian yang melanda.
Bunuh diri tidak lagi menjadi opsi sebab iman yang dipupuk di dalam hati memberikan keyakinan pasti bahwa setiap bencana yang dialami selalu ada hikmah dan kebaikan yang menanti.
Maka perlu kita renungi bahwa setiap mahasiswa yang bunuh diri bukan hanya suatu kehilangan individu namun kehilangan satu harapan masa depan bangsa.
Setiap kali kita membiarkan sistem ini berjalan tanpa perubahan, kita sedang menjadi bagian dari negara yang memberi trauma.
Sementara Islam sebagai agama dan ideologi sejatinya adalah obat yang saat ini butuh untuk kita gunakan sebagai terapi. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/TRIBUN-OPINI-drRatih-Paradini-Dokter-Penulis.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.