Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Whoosh: Laju Cepat, Utang Berat?

Infrastruktur transportasi modern bisa meningkatkan koneksi daerah, menciptakan pekerjaan baru, serta memperkuat daya saing ekonomi negara.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Hafiz Elfiansya Parawu Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Makassar 
Ringkasan Berita:
  • Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) dinilai Presiden Joko Widodo sebagai investasi sosial, bukan sekadar proyek finansial. 
  • Menurutnya, manfaat seperti efisiensi waktu, penurunan polusi, dan peningkatan produktivitas lebih penting daripada hitungan untung-rugi.
  • Kereta Cepat Whoosh menjadi simbol kemajuan sekaligus paradoks sosial. 
  • Pembangunan infrastruktur seperti Whoosh menegaskan pentingnya tata kelola proyek publik yang transparan, akuntabel, dan berkelanjutan.

Oleh: Hafiz Elfiansya Parawu

Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - Pembangunan Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCIC) atau lebih dikenal dengan nama Whoosh, menjadi salah satu proyek yang sangat ambisius dan juga menimbulkan banyak perdebatan dalam sejarah pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa proyek ini bukan hanya soal menghitung untung atau rugi secara finansial, tetapi juga tentang manfaat sosial yang diperoleh masyarakat, seperti penghematan waktu, penurunan polusi udara, dan peningkatan efisiensi kerja.

Secara gagasan, argumen Jokowi ini tidak salah.

Dalam teori kebijakan publik, setiap proyek pembangunan strategis seharusnya dinilai bukan hanya dari segi keuangan, tetapi juga dari nilai sosial dan manfaat eksternal positif yang dihasilkan.

Infrastruktur transportasi modern bisa meningkatkan koneksi daerah, menciptakan pekerjaan baru, serta memperkuat daya saing ekonomi negara.

Namun, pertanyaannya adalah: apakah proyek Whoosh benar-benar memberikan manfaat sosial yang seimbang dengan beban utang yang dibebankan kepada negara?

Menurut laporan dari berbagai lembaga keuangan negara, awalnya pembiayaan proyek KCIC tidak diharapkan menyulitkan APBN.

Namun, dalam kenyataannya, Indonesia tetap harus mengambil tambahan utang untuk menutupi kenaikan biaya proyek sebesar sekitar USD7,26 miliar atau setara dengan Rp119,79 triliun.

Situasi ini selanjutnya memicu kritik bahwa Whoosh menjadi simbol pembangunan yang “berlari cepat di atas rel utang”.

Di sinilah persoalan kebijakan publik menjadi menarik. Pemerintah memang berusaha menerapkan pendekatan negara pembangun, di mana negara menjadi penggerak utama dalam proses pembangunan.

Namun, dalam praktiknya, proyek besar seperti KCIC menunjukkan bahwa pembangunan sering kali didorong oleh semangat politik untuk prestasi, bukan oleh pertimbangan keberlanjutan keuangan jangka panjang.

Jika visi pembangunan besar tidak diiringi pengelolaan keuangan yang bijak, maka manfaat sosial yang dijanjikan bisa berubah menjadi beban sosial bagi masyarakat, termasuk bagi generasi mendatang.

Bagi sebagian orang, proyek Whoosh justru menciptakan paradoks sosial. Di satu sisi, proyek ini dianggap sebagai simbol kemajuan dan kebanggaan bangsa.

Namun di sisi lain, masih banyak masalah dasar di bidang transportasi umum di daerah yang belum teratasi.

Ketimpangan dalam pembangunan infrastruktur antara Pulau Jawa dan wilayah Indonesia Timur masih terasa.

Masyarakat di Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara misalnya, masih mengalami keterbatasan akses jalan, transportasi antar daerah, serta pelayanan publik yang tidak efisien.

Maka, penting untuk menempatkan pembangunan seperti Whoosh dalam kerangka kebijakan publik yang lebih adil dan terintegrasi.

Pembangunan seharusnya bukan sekadar simbol modernitas, melainkan instrumen pemerataan.

Pemerintah perlu memperluas perspektif social return dengan melihat siapa yang paling diuntungkan, dan siapa yang tertinggal akibat prioritas investasi besar-besaran di sektor tertentu.

Ke depan, evaluasi terhadap proyek-proyek infrastruktur strategis setidaknya perlu mempertimbangkan tiga hal utama.

Pertama, transparansi pembiayaan, yaitu keterbukaan pemerintah dalam menyediakan informasi mengenai seluruh aspek pendanaan infrastruktur, mulai dari perencanaan, penganggaran, alokasi, penggunaan, hingga hasil dari penggunaan dana kepada publik dan pemangku kepentingan.

Kedua, akuntabilitas manfaat sosial, yaitu mekanisme untuk memastikan bahwa proyek-proyek infrastruktur memberikan dampak positif dan berkelanjutan bagi masyarakat luas, bukan hanya sebatas output teknis atau keuntungan ekonomi bagi pihak tertentu.

Dan yang ketiga adalah terkait dengan kesinambungan fiskal, yaitu kemampuan pemerintah untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur dalam jangka panjang tanpa menimbulkan masalah keuangan Negara.

Tanpa pertimbangan ketiga hal tersebut, konsep social return on investment hanya akan menjadi kata-kata retoris.

Padahal, yang dibutuhkan oleh bangsa ini bukan hanya kecepatan fisik dalam pembangunan, tetapi juga kecepatan dalam memastikan manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat luas.

Whoosh memang telah membawa Indonesia memasuki era transportasi modern yang baru.

Namun, kemajuan sungguh tidak hanya dilihat dari kecepatan kereta yang melaju, melainkan dari sejauh mana manfaatnya dirasakan oleh rakyat dan seberapa bijak pemerintah dalam mengelola dampak ekonominya.

Karena dalam kebijakan publik, pembangunan yang berkelanjutan bukanlah tentang berlari cepat di jalur kereta, tetapi tentang mengarahkan jalannya bangsa agar tidak terjebak dalam utang yang semakin berat.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved