Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Kuota 30 Persen Perempuan Hanya Manis di Regulasi

Kuota 30 persen perempuan dalam politik Indonesia belum menjamin ruang bicara yang setara. Kehadiran mereka kerap hanya jadi angka.

Endang Sari/Tribun Timur
PENULIS OPINI - Endang Sari. Ia mengirim foto pribadinya di tribun-timur.com untuk melengkapi tulisan berjudul Kuota 30 Persen Perempuan Hanya Manis di Regulasi. Endang Sari merupakan Dosen Ilmu Politik FISIP Unhas 

Sistem pemilu kita, yang menganut proporsional terbuka, justru memperparah keadaan.

Dalam sistem ini, suara terbanyaklah yang menentukan siapa yang duduk di kursi legislatif.

Maka, caleg perempuan yang minim sumber daya dan jaringan politik akan sulit bersaing dengan caleg laki-laki yang telah lama eksis dalam struktur partai.

Di sinilah letak ironi itu: regulasi yang dimaksudkan untuk membuka ruang justru terjerat dalam sistem yang menutupnya kembali.

Keterpilihan perempuan di DPR dari pemilu ke pemilu pun tidak pernah mencapai 30 persen. 

Jumlah perempuan terpilih di DPR untuk periode 2009-2014 hanya 17,86 persen, periode 2014-2019 hanya berjumlah 97 orang atau persen 17,32 persen dari jumlah kursi DPR.

Di 2019-2024 hanya 120 orang atau 20,87 persen, dan di tahun 2024-2029 hanya 127 orang atau 21,90 persen. 

Spivak menyebut bahwa subaltern tidak bisa berbicara bukan karena mereka tidak memiliki suara, tetapi karena struktur kekuasaan tidak menyediakan ruang untuk suara itu didengar.

Dalam konteks politik kita, perempuan bukan tidak berbicara, perempuan telah bersuara, mencalonkan diri, berkampanye, bahkan menang.

Namun, suara perempuan sering kali dikooptasi, disaring, atau bahkan dibungkam oleh sistem yang masih sangat maskulin dan patronistik.

Ketika perempuan berhasil masuk ke parlemen, mereka kerap dihadapkan pada dilema representasi: apakah mereka benar-benar mewakili kepentingan perempuan, atau sekadar menjadi perpanjangan tangan elit partai?

Saya pernah berbincang dengan seorang teman caleg perempuan dari salah satu partai politik.

Ia bercerita bagaimana dirinya diminta maju oleh partai hanya tiga bulan sebelum masa kampanye dimulai. Tanpa dana, tanpa tim, dan tanpa pelatihan, ia merasa seperti dilempar ke medan perang tanpa senjata. “Saya tahu saya tidak akan menang,” katanya sambil tersenyum getir.

“Tapi saya diminta maju, katanya untuk memenuhi kuota.” Ia tertawa getir. “Saya ini cuma angka.” Angka. Itulah kata kuncinya. Perempuan dalam politik Indonesia kerap direduksi menjadi angka.

Tiga puluh persen. Sebuah angka yang tampak progresif.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved