Opini Abd Rahman
Refleksi Hari Santri dan Bulan Bahasa: Santri dan Reaktualisasi Bahasa
tercatat 42.391 pondok pesantren di Indonesia. 24.634 pondok pesantren yang berfokus pada pembelajaran kitab kuning
Oleh: Abdul Rahman
Dosen STAI DDI Maros/Pengurus IKA PMII Maros, GP Ansor Maros, dan IP DDI Maros
TRIBUN-TIMUR.COM - Oktober memiliki keistimewaan tersendiri dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Di bulan ini, dua momentum besar diperingati: Hari Santri Nasional (22 Oktober) dan Sumpah Pemuda (28 Oktober). Oktober juga biasa disebut sebagai bulan bahasa sebagaimana salah satu substansi isi dari Sumpah Pemuda adalah menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Dua sejarah di atas mengajak kita merefleksi dan mengambil pelajaran, khususnya relevansi keduanya yang bisa saling menopang kemajuan Indonesia. Santri adalah bagian dari penutur dan ikut mempelajari bahasa. Jumlah pesantren juga cukup banyak dan tersebar hingga pelosok negeri.
Mengutip dataloka, sesuai data Kemenag (04 Oktober 2025) tercatat 42.391 pondok pesantren di Indonesia. 24.634 pondok pesantren yang berfokus pada pembelajaran kitab kuning dan 16. 036 pondok pesantren yang mengitegrasikan pembelajaran kitab kuning dan pendidikan formal.
Data di atas tentunya cukup signifikan mengakomodir pendidikan anak-anak bangsa. Dimana pesantren jelas memiliki andil besar yang bukan hanya perjuangannya melawan kolonial, tapi
sejak lahirnya hingga kini mampu merawat peradaban ilmu pengetahuan, nilai-nilai luhur beragama, berbangsa dan bernegara serta telah terbukti melahirkan tokoh-tokoh besar di
Indonesia.
Relevan dengan penguatan identitas kebudayaan yang sarat nilai-nilai luhur, santri yang notabenenya berasal dari berbagai daerah dan serta latar belakang adalah peluang tepat untuk
saling berdiskusi terkait dengan karakter bahasa masing-masing.
Kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar tanpa mengenyampingkan kemampuan berbahasa daerah masing-masing merupakan modal sosial dalam sehari-hari hingga kelak
mengabdi di masyarakat. Apalagi jika didukung dengan kemampuan berbahasa asing.
Santri tentu memiliki peluang mengisi ruang-ruang kemudian hari yang terbuka lebar. Di pondok pesantren orientasi pembelajaran telah berjalan baik pada intrakurikuler, kokurikuler maupun
ekstrakurikuler. Sisa didukung dengan daya juang belajar dan mengevaluasi kekurangan dengan manajemen program yang baik oleh pengelola.
Santri sebagai Pelestari Bahasa
Dalam konteks Sulawesi Selatan, hampir seabad silam pesantren mulai hadir membersamai anak-anak di tanah Bugis dengan lahirnya Asadiyah dan Darud Da'wah wal Irsyad. Dua
organisasi yang didirikan Ulama Masyhur, AGH. Muhammad Asad Al Bugisy dan muridnya AGH Abdurrahman Ambo Dall. Keduanya memelopori pesantren hingga tumbuh subur dan
memperkuat ruh peradaban ilmu dan kebudayaan hingga hari ini.
Dalam konteks bahasa daerah seperti Bugis dan Makassar maupun bahasa Indonesia di pesantren khususnya, telah terejawantahkan melalui proses pengajian. Baik bahasa daerah
maupun bahasa Indonesia telah menjadi media komunikasi antar guru dan santri maupun ketika para Ustadz/Ustdazah mentransformasikan ilmu yang bersumber dari Al Quran, Hadist serta kitab-kitab karangan para ulama.
Agar bahasa lebih hidup dan bermakna, kita perlu memperdalam orientasi dan memperkuat kompetensi kebahasaan dengan proses reaktualisasi di berbagai ruang keluarga, pesantren hingga masyarakat. Contoh sederhananya interaksi sehari-hari, membaca, manajemen organisasi, MC, rapat, diskusi, menulis hingga memasuki ajang lomba seperti karya tulis ilmiah, debat, ceramah, pappaseng/nasehat, cipta puisi dan beragam karya sastra lainnya.
Terkait efektifitas penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia ketika mengajar/membawakan pengajian di depan santri serta pentingnya kompetensi berbahasa daerah dan berbahasa Indonesia yang baik dan benar bagi santri.
Pendapat beberapa rekan penulis (wawancara via WA) cukup menarik diamati di antaranya:
Menurut Ilham Aziz (Oktober 2025) menjelaskan bahwasanya sisi positif bahasa daerah karena melatih anak-anak untuk berbahasa daerah terutama dalam pengajian menggunakan kitab seperti Kitab Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle yang notabenenya berbahasa bugis lontara. Yang harus diperhatikan bahwa sebab di pondok itu bukan hanya berasal dari daerah Bugis tapi ada juga dari Jawa dan Papua yang tidak tahu berbahasa Bugis.
| Tomas Trucha Tak Dampingi PSM Makassar Lawan Madura United |
|
|---|
| Camat Pattallassang Takalar Gerak Cepat Koordinasikan Launching 4 Koperasi Kelurahan Merah Putih |
|
|---|
| Tomas Trucha: Makassar Ini Kota Petarung |
|
|---|
| 1500 Santri dan Ulama Indonesia Timur Silaturahmi di Balai Manunggal Makassar |
|
|---|
| Perempuan dan Pola Parenting Literasi Digital Keluarga |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.