Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Desentralisasi Kehilangan Nafas: Ketika Uang Daerah Mengendap

Rp 1,2 triliun uang daerah mengendap di kas. Desentralisasi kehilangan napas saat kepercayaan pusat dan daerah memudar.

ISTIMEWA
PENULIS OPINI - Abd. Hamid Paddu. Ia mengirim foto untuk melengkapi opini Desentralisasi Kehilangan Nafas: Ketika Uang Daerah Mengendap. Ia adalah Guru Besar Keuangan Negara, Universitas Hasanuddin 

Desentralisasi Kehilangan Nafas: Ketika Uang Daerah Mengendap

Oleh Abd. Hamid Paddu

Guru Besar Keuangan Negara, Universitas Hasanuddin

TRIBUN-TIMUR.COM - Di kas pemerintah daerah Sulawesi Selatan, uang itu diam. 

Rp 1,2 triliun angka yang tenang tapi menyimpan kegelisahan. 

Sementara petani menunggu irigasi, nelayan menunggu bahan bakar, dan kontraktor kecil menunggu proyek yang tak kunjung dimulai. 

Uang publik seharusnya berputar, kini tertidur di rekening bank, menjadi simbol desentralisasi kehilangan nyawa.

Ketika reformasi melahirkan otonomi daerah dua dekade lalu, kita percaya bahwa pembangunan akan lebih adil bila keputusan diambil dekat dengan rakyatnya. 

Tapi seperti diingatkan Daron Acemoglu dan James Robinson dalam Why Nations Fail, institusi gagal bukan karena miskin, tapi karena kekuasaan yang terkonsentrasi. 

Desentralisasi di Indonesia berubah menjadi ritual administratif tanpa kedaulatan fiskal. 

Wewenang diberikan, tetapi keputusan tetap ditentukan dari Jakarta.

RAPBN 2026 mempertegas arah baru itu: Transfer ke Daerah (TKD) turun tajam dari Rp 864 triliun menjadi Rp 650 triliun. 

Bagi provinsi seperti Sulsel, yang bergantung pada transfer pusat, pemotongan ini seperti menarik oksigen dari paru-paru ekonomi lokal.

Alasannya efisiensi dan disiplin fiskal, tapi bagi daerah, artinya ruang gerak menyempit.

Proyek infrastruktur tertunda, belanja sosial dikurangi, dan inovasi lokal kehilangan tenaga.

Dana yang mengendap itu bukan sekadar angka, ia cermin dari sistem yang lumpuh karena ketakutan dan ketidakpercayaan. 

Pejabat daerah menunda keputusan karena takut salah, regulasi berubah di tengah tahun, juknis datang terlambat, dan birokrasi memilih aman.

Akhirnya, uang tetap aman di kas, tapi pembangunan tak bergerak. Dalam bahasa ekonomi, likuiditas tinggi; dalam bahasa sosial, stagnasi.

Literatur Decentralization and Governance Capacity karya Evrim Tan menjelaskan bahwa otonomi hanya berhasil bila daerah punya tiga hal: kewenangan, kapasitas, dan kepercayaan.

Indonesia tampaknya berhenti di tahap pertama. Pusat memberi dana, tapi dengan tali kendali yang panjang.

Daerah diberi tugas, tapi tanpa keluwesan untuk menyesuaikan diri dengan realitasnya.

Inilah paradoks desentralisasi kita: daerah memiliki uang, tapi tidak punya kuasa atasnya.

Kita hidup di masa ketika laporan keuangan lebih penting daripada hasil pembangunan.

Serapan anggaran menjadi ukuran sukses, bukan dampak sosial. Kita pandai menghitung uang, tapi miskin dalam menghidupkannya. 

Desentralisasi yang dulu dimaksudkan untuk memperdekat rakyat dan negara kini menjauhkan keduanya terpisah lapisan prosedur dan tanda tangan.

Fenomena resentralisasi fiskal ini bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan refleksi dari krisis kepercayaan antar-level pemerintahan. 

Pusat merasa daerah boros dan tak efisien; daerah merasa pusat mengekang dan tidak percaya. 

Maka hubungan seharusnya berbasis kemitraan berubah menjadi hubungan perintah. 

Padahal, seperti ditegaskan Acemoglu, kemajuan hanya lahir dari institusi yang inklusif—yang memberi ruang partisipasi, bukan sekadar kepatuhan.

Solusinya bukan menarik kembali otonomi, tapi membangun desentralisasi yang bertanggung jawab. 

Pusat menjaga disiplin fiskal nasional, sementara daerah diberi ruang fleksibilitas sesuai kapasitasnya. 

Model asimetris ini telah berhasil di Turki dan Korea Selatan: daerah yang kuat diberi keleluasaan lebih, yang lemah dibimbing hingga siap.

Kunci keberhasilannya satu: kepercayaan.

Di Sulawesi Selatan, Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Sulsel memiliki posisi penting sebagai jembatan antara logika fiskal pusat dan kebutuhan daerah.

Melalui forum koordinasi dan analisis regional, DJPb dapat memastikan uang publik tidak sekadar tercatat, tapi benar-benar bekerja untuk rakyat. 

Karena fungsi kas negara bukan hanya menyimpan uang, tetapi memastikan setiap rupiah menciptakan manfaat.

Dana Rp 1,2 triliun yang mengendap itu bukan hanya masalah akuntansi, tetapi pertanyaan moral: mengapa uang rakyat tak segera kembali ke rakyat? 

Mengapa otonomi berhenti pada tabel Excel dan tak sampai ke sawah, pelabuhan, dan sekolah?

Desentralisasi seharusnya menghidupkan semangat lokal, memberi ruang bagi inovasi dan kemandirian. 

Namun selama pusat dan daerah masih saling curiga, uang akan terus tidur di kas, dan pembangunan hanya akan hidup di laporan tahunan.

Pada akhirnya, persoalan ini bukan semata fiskal—tapi soal iman institusional.

Apakah negara masih percaya pada dirinya sendiri? Apakah kita berani memberi kepercayaan kepada daerah untuk tumbuh, belajar, dan bertanggung jawab?

Sulawesi Selatan memiliki potensi besar: lautnya, tanahnya, manusianya.

Yang dibutuhkan hanyalah sistem yang berani percaya bahwa keputusan terbaik sering datang dari bawah, bukan dari atas. 

Karena uang publik bergerak adalah tanda negara hidup, dan uang mengendap hanyalah tanda negara takut pada dirinya sendiri.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved