Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Desentralisasi Kehilangan Nafas: Ketika Uang Daerah Mengendap

Rp 1,2 triliun uang daerah mengendap di kas. Desentralisasi kehilangan napas saat kepercayaan pusat dan daerah memudar.

ISTIMEWA
PENULIS OPINI - Abd. Hamid Paddu. Ia mengirim foto untuk melengkapi opini Desentralisasi Kehilangan Nafas: Ketika Uang Daerah Mengendap. Ia adalah Guru Besar Keuangan Negara, Universitas Hasanuddin 

Dana yang mengendap itu bukan sekadar angka, ia cermin dari sistem yang lumpuh karena ketakutan dan ketidakpercayaan. 

Pejabat daerah menunda keputusan karena takut salah, regulasi berubah di tengah tahun, juknis datang terlambat, dan birokrasi memilih aman.

Akhirnya, uang tetap aman di kas, tapi pembangunan tak bergerak. Dalam bahasa ekonomi, likuiditas tinggi; dalam bahasa sosial, stagnasi.

Literatur Decentralization and Governance Capacity karya Evrim Tan menjelaskan bahwa otonomi hanya berhasil bila daerah punya tiga hal: kewenangan, kapasitas, dan kepercayaan.

Indonesia tampaknya berhenti di tahap pertama. Pusat memberi dana, tapi dengan tali kendali yang panjang.

Daerah diberi tugas, tapi tanpa keluwesan untuk menyesuaikan diri dengan realitasnya.

Inilah paradoks desentralisasi kita: daerah memiliki uang, tapi tidak punya kuasa atasnya.

Kita hidup di masa ketika laporan keuangan lebih penting daripada hasil pembangunan.

Serapan anggaran menjadi ukuran sukses, bukan dampak sosial. Kita pandai menghitung uang, tapi miskin dalam menghidupkannya. 

Desentralisasi yang dulu dimaksudkan untuk memperdekat rakyat dan negara kini menjauhkan keduanya terpisah lapisan prosedur dan tanda tangan.

Fenomena resentralisasi fiskal ini bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan refleksi dari krisis kepercayaan antar-level pemerintahan. 

Pusat merasa daerah boros dan tak efisien; daerah merasa pusat mengekang dan tidak percaya. 

Maka hubungan seharusnya berbasis kemitraan berubah menjadi hubungan perintah. 

Padahal, seperti ditegaskan Acemoglu, kemajuan hanya lahir dari institusi yang inklusif—yang memberi ruang partisipasi, bukan sekadar kepatuhan.

Solusinya bukan menarik kembali otonomi, tapi membangun desentralisasi yang bertanggung jawab. 

Sumber: Tribun Timur
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved