Opini
Guruku Sayang, Jangan Salah Paham
Haruskah kita mengajari guru yang telah puluhan tahun mendidik dan membimbing anak-anak dari latar belakang berbeda? Tentu tidak.
TRIBUN-TIMUR.COM - "It is both challenging and necessary for educators to respond to emotionally and politically charged moments of violence," – Eric Soto-Shed | Harvard Graduate School of Education
Haruskah kita mengajari guru yang telah puluhan tahun mendidik dan membimbing anak-anak dari latar belakang berbeda? Tentu tidak.
Apalagi bila kasus siswa merokok ditangani langsung oleh kepala sekolah, sosok pemimpin yang kenyang pengalaman.
Namun, pengalaman tidak kebal dari kekeliruan. Justru di situlah nilai seorang pendidik diuji, sejauh mana ia tetap rendah hati untuk diingatkan.
Di era digital yang mudah menyalakan bara persepsi publik, ketenangan dan kebijaksanaan guru menjadi bentuk tertinggi dari tanggung jawab moral.
Pertanyaan yang Penulis bawa dalam benak adalah bagaimana seorang guru menggunakan pengalaman dan otoritasnya untuk membimbing murid, tanpa mengesampingkan rasa empati?
Nel Noddings, profesor emeritus dari Stanford University dan pelopor Etika Kepedulian (Caring Ethics), berpendapat bahwa inti pendidikan bukanlah menanamkan kepatuhan, melainkan menumbuhkan empati. Bagi Noddings, proses belajar adalah relasi antara yang “merawat” dan yang “dirawat.”
Murid berkembang bukan karena takut salah, tetapi karena merasa diperhatikan. Hukuman fisik atau verbal mungkin menegakkan ketertiban sesaat, tetapi menghancurkan kepercayaan.
Dalam konteks ini, teori Transformative Learning dari Jack Mezirow—pendidik dan sosiolog pendidikan dari Columbia University—menawarkan bingkai yang melengkapi gagasan Noddings.
Mezirow meyakini bahwa perubahan perilaku sejati lahir dari kesadaran reflektif, bukan tekanan eksternal.
Pendidikan seharusnya membantu murid menguji keyakinannya sendiri, memahami dampak tindakannya, dan menafsirkan ulang pengalamannya agar lebih bermakna. Hukuman mungkin menciptakan kepatuhan, tetapi refleksi melahirkan kesadaran.
Di Finlandia, misalnya, guru diajarkan teknik non-violent communication ala Marshall Rosenberg: mendengar tanpa menghakimi, menegur tanpa mempermalukan.
Disiplin di sana berbasis dialog, bukan dominasi. Anak yang melanggar diajak merefleksi, bukan dipermalukan di depan kelas.
Di Finlandia, disiplin tumbuh bukan dari rasa takut, tetapi dari rasa percaya. Guru tidak memposisikan diri sebagai pengendali perilaku, melainkan fasilitator kesadaran.
Sejak masa pelatihan, calon guru dibekali non-violent communication—mendengar tanpa menghakimi, menegur tanpa mempermalukan.
| Hapus Roblox dari Gawai Anak: Seruan Kewaspadaan di Tengah Ancaman Dunia Virtual |
|
|---|
| Mendobrak Tembok Isolasi: Daeng Manye, Perjuangan Tanpa Henti untuk Setiap Jengkal Tanah Takalar |
|
|---|
| Desentralisasi Kehilangan Nafas: Ketika Uang Daerah Mengendap |
|
|---|
| Membedah Proses Kreatif Menulis KH Masrur Makmur |
|
|---|
| Transformasi Unhas, Melawan Kebencian dan Irasional |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/2025-05-06-ADEKAMWA.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.