Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Dari Merdeka ke Peradaban Dunia: Santri Sebagai Benteng Moral Bangsa

Pesantren sejak awal bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tetapi laboratorium peradaban.

Editor: Ansar
Tribun-Timur.com
OPINI TRIBUN- Noercholis Rafid A, Dosen STAIN Majene, Sulbar. Menurutnya, Hari Santri bukan hanya momentum mengenang perjuangan masa lalu, tetapi panggilan untuk meneguhkan kembali peran santri sebagai benteng moral bangsa. 

Penulis: Noercholis Rafid A, Dosen STAIN Majene

HARI SANTRI bukan hanya momentum mengenang perjuangan masa lalu, tetapi panggilan untuk meneguhkan kembali peran santri sebagai benteng moral bangsa.

Dari Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari hingga kiprah santri di panggung global masa kini, pesantren telah membuktikan dirinya sebagai pusat pembentukan karakter, spiritualitas, dan intelektualitas bangsa.

Bila dulu santri turun ke medan perang untuk mempertahankan kemerdekaan, kini mereka berjuang di medan ilmu, moral, dan teknologi untuk menjaga kemerdekaan nilai dan martabat kemanusiaan.

Pesantren sejak awal bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tetapi laboratorium peradaban.

Dari tempat inilah lahir pejuang, pemikir, dan pemimpin bangsa. 

HOS Cokroaminoto, cucu pendiri Pesantren Tegalsari, membimbing generasi muda seperti Soekarno dan Semaun yang kemudian menjadi tokoh nasional.

Nasihatnya yang terkenal, “Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator,” menunjukkan bagaimana pesantren melahirkan generasi yang berpikir kritis, berani, dan berkarakter.

Pesantren tidak hanya mencetak ahli agama, tetapi juga pemimpin perubahan sosial dan politik.

Kekuatan pesantren juga berakar pada keluarga santri yang menanamkan nilai kejujuran, keikhlasan, dan tanggung jawab.

Dari lingkungan inilah lahir tokoh-tokoh seperti KH. Idham Chalid, pemimpin NU yang memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan politik nasional pasca-kemerdekaan.

Nilai yang diwariskan pesantren dan keluarga santri adalah nasionalisme yang berpadu dengan keimanan, menegaskan bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari iman.

Namun, refleksi Hari Santri tidak boleh berhenti pada romantisme sejarah.

Tantangan zaman kini hadir dalam bentuk baru: krisis moral, degradasi spiritual, dan disrupsi digital yang mengubah cara manusia berpikir dan berinteraksi.

Arus globalisasi membawa materialisme dan individualisme yang dapat mengikis nilai kebersamaan.

Di tengah gelombang ini, pesantren dituntut untuk terus bertransformasi tanpa kehilangan jati dirinya.

Inovasi pendidikan, digitalisasi kurikulum, dan perluasan bidang keilmuan menjadi keniscayaan.

Santri masa kini harus menguasai ilmu agama dan sains sekaligus agar dapat memimpin perubahan dengan landasan moral yang kokoh.

Pesantren yang dahulu dikenal dengan kemandirian dan kesederhanaan kini berkembang menjadi pusat pemberdayaan ekonomi umat, menggerakkan koperasi, agrobisnis, dan wirausaha sosial.

Dari sini lahir santri yang bukan hanya saleh pribadi, tetapi juga saleh sosial.

Transformasi nilai-nilai pesantren di era modern tampak dalam kiprah Lukman Hakim Saifuddin, alumni Pondok Modern Darussalam Gontor, yang menggagas pentingnya Moderasi Beragama sebagai strategi kebangsaan dan kemanusiaan.

Gagasan tersebut menunjukkan bagaimana santri memiliki peran nyata dalam merawat kedamaian, memperkuat persatuan, dan membangun ukhuwah wathaniyah di tengah kemajemukan Indonesia.

Moderasi beragama menjadi ruang dialog yang mempersatukan sebuah cara pandang khas santri yang menolak ekstremisme, menumbuhkan toleransi, dan menegaskan keseimbangan antara iman dan kemanusiaan.

Sejalan dengan itu, Prof Nazaruddin, alumni Pondok As’adiyah Sengkang, menawarkan konsep Kurikulum Berbasis Cinta yang menekankan kasih sayang sebagai inti pendidikan Islam.

Gagasannya memperlihatkan bahwa cinta adalah energi peradaban: dari cinta lahir empati, dari empati tumbuh toleransi, dan dari toleransi tercipta perdamaian.

Pendidikan berbasis cinta membentuk manusia yang lembut hati, kuat prinsip, serta mampu menjadi perekat sosial di tengah keberagaman bangsa.

Kedua gagasan ini memperlihatkan arah baru bagi pesantren Indonesia: dari ruang lokal menuju cakrawala global.

Santri bukan lagi generasi pasif yang hanya menghafal teks, tetapi aktor perubahan yang menafsirkan teks dalam konteks zaman.

Dengan moderasi dan cinta, pesantren menghadirkan wajah Islam yang damai, terbuka, dan berkeadaban nilai yang sangat dibutuhkan dunia di tengah meningkatnya konflik sosial dan degradasi moral.

Di berbagai forum internasional, banyak santri Indonesia tampil sebagai duta perdamaian.

Mereka membuktikan bahwa Islam rahmatan lil ‘alamin bukan hanya konsep teologis, melainkan etika peradaban yang hidup.

Pesantren menjadi model pendidikan yang menyeimbangkan akal dan hati, ilmu dan amal, serta spiritualitas dan kemanusiaan.

Dari Merdeka ke Peradaban Dunia, santri tetap memikul amanat besar: menjaga jiwa bangsa agar tidak kehilangan arah di tengah perubahan zaman.

Pesantren harus terus menjadi benteng moral dan sumber inspirasi, bukan hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi dunia.

Sebab dari rahim pesantren lahir generasi yang mencintai tanah air, menghargai perbedaan, dan membangun peradaban dengan ilmu, akhlak, serta cinta.

 Santri bukan masa lalu, tetapi masa depan peradaban.

Dari langgar kecil di pelosok hingga forum global, mereka terus menyalakan obor kemerdekaan moral bangsa. (*)

 

 

 

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved