Opini Tribun Timur
Surat untuk Presiden Prabowo: Bapak akan Tersenyum di Hadapan Tuhan Bersama Semua Pahlawan itu
Namun Agustus lalu, sukacita berganti api amarah dan asap kecewa. Sungguh muram. Sepuluh nyawa anak negeri melayang.
Oleh: Andi Sukmono Kumba
Ketua Umum Yayasan AYO Indonesia
TRIBUN-TIMUR.COM - Alumnus perguruan tinggi di Makassar, Andi Sukmono Kumba, akrab disama AS Kumba, menulis surat terbuka untuk Presiden Prabowo Subianto.
Surat terbuka itu dikirim Andi Sukmono ke Tribun-Timur.com pada Selasa pagi, 7 Oktober 2025.
Berikut selengkapnya:
Bapak Presiden, sejak 1945, bulan kemerdekaan senantiasa dikelindangi riang dan haru, mengenang betapa nyawa dipertaruhkan—meski hanya berbekal bambu runcing—demi harkat tak terpasung hina.
Namun Agustus lalu, sukacita berganti api amarah dan asap kecewa. Sungguh muram. Sepuluh nyawa anak negeri melayang.
Media menghampar tafsir: massa anarkis, aparat represif, hingga telikung penumpang gelap.
Tak ada yang lebih jernih selain wajah Ibu Kartini sepulang aksi di Slipi, Jakarta. Matanya basah saat membeli dua liter beras di warung kecil dekat rumah.
Tatapan nanar itu, hening menyingkap luka: kemerdekaan tanpa keadilan sosial yang nyata hanyalah sekam gersang, mudah dilalap api.
*Retaknya Janji Kemerdekaan*
Bapak Presiden, api berpijar bukan semata gesekan di jalan, melainkan luruhnya landasan moral kemanusiaan yang adil dan beradab, membuat bangsa tak “terhubung” pada cara dan arah yang sama.
Anomi itu bara, sekamnya menumpuk dari retaknya amanat proklamasi: kesejahteraan umum—eutopia yang dapat digapai, bukan utopia, apalagi distopia.
Delapan dekade berlalu, kita masih tertatih menapaki janji. Tertatih berarti “tidak akan” selama jembatan emas yang dimaksud Bung Karno rapuh dan timpang. Entah karena lalai atau ingkar yang disengaja.
Rasio Gini 0,375 (BPS, Maret 2025) menunjukkan diskrepansi. “Gemah ripah loh jinawi” dibiarkan dalam genggaman segelintir—meninggalkan mayoritas terkulai di tubir menadah remah.
Ibu-ibu sesak napas melihat harga melesat, buruh dililit cemas PHK, dan anak muda terhimpit pintu kerja yang sempit. Nahas!
*Menyulih Bara jadi Suluh*
Bapak Presiden, “Amarah Agustus” bukan hasrat mengacau, tetapi resonansi moral terhadap kuasa politik yang kerap melucuti kehormatan negeri—kehilangan keinsafan tujuan kemerdekaan.
Orde Lama terbelit silang ideologi; Orde Baru membangun dengan sunyi kebebasan; Reformasi membebaskan namun tersaruk remang tambal-sulam.
Tanpa koreksi menyeluruh, bangsa akan tersandung kegagalan yang sama dengan ilusi berbeda.
Saatnya gotong royong, menyulih bara menjadi suluh penerang haluan: ilham tindakan merapikan ulang cita kemerdekaan.
Terpuji mengubah lintasan “jalan menuju” menjadi “jalan tiba” yang lapang bagi semua—panggilan sejarah dengan seru reformasi ganda.
*Reformasi Ganda*
Bapak Presiden, reformasi ganda menuntut perubahan simultan: memperkuat akar di hulu melalui reformasi fundamental, dan menggerakkan visi di hilir dengan reformasi progresif.
Reformasi fundamental berarti menata ulang fondasi politik. Demokrasi disuburkan pada kedalaman hikmat kebijaksanaan, bukan sekadar prosedural dangkal: suara dihitung, kursi dibagi, rakyat dilupakan.
Partai politik dikembalikan pada fitrahnya sebagai amanah rakyat, bebas dari jerat personalisasi dan oligarki.
Ibarat orkestra, “partitur” dan “pemain” nadi yang menentukan simfoni harmoni. Dentang menepati ikrar: hidup layak tanpa kecuali, hukum berwibawa melindungi, kebijakan berpijak pada akal sehat dan nurani.
Reformasi progresif berarti keberanian menyalakan imajinasi kemerdekaan baru—Indonesia unggul, turut mengasuh ketertiban dan arah zaman; lebih dari sekadar maju dan bermartabat.
Sendi terpenting, selain keteladanan yang memompa kuantum, adalah revolusi pendidikan. Sekolah dan kampus menjadi rahim kreasi dan inovasi, bukan pabrik ijazah yang “mengekang” potensi pelopor anak negeri.
Kedaulatan digital tak kalah penting dari pangan, energi, dan ekologi—agar kita tak selamanya dimangsa algoritma yang buta Pancasila.
Reformasi ganda adalah kepak sayap Garuda yang mengangkasa: ekosistem Pancasila.
*Ekosistem Pancasila*
Bapak Presiden, ekosistem Pancasila rumah besar bangsa: rakyat segar bernapas, alam teduh menopang hidup, dan negara tekun merawat martabat.
Pancasila utuh sebagai standar nilai dan laku setiap relasi—manusia, alam, Tuhan.
Integrasi sistemik menyatukan harmoni: kesadaran spiritual menyuburkan kemanusiaan, menjalarkan persatuan, memekarkan kebijaksanaan, hingga ranum dalam keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Ekosistem Pancasila resilien menjamin keberlangsungan kebaikan bersama, bagi generasi kini dan mendatang.
Saya, warga biasa, percaya Bapak Presiden sanggup menuntun keinginan luhur bangsa. Keyakinan itu menetes dari kesadaran profetik—tersenyum menghadap Tuhan.
“Saya ingin wakafkan sisa hidup saya untuk bangsa dan rakyat. Jika dipanggil Yang Maha Kuasa, saya ingin menghadap dengan tersenyum karena telah berbuat yang saya bisa,” ujar Bapak, lirih kala itu.
Hanya kedalaman cinta semacam itu yang mampu menggenangi negeri dengan bakti—memberi arti setiap nyawa anak negeri yang telah pergi.
Mereka yang merajut kebangkitan nasional, bernyali merebut kemerdekaan, gigih menghalau Permesta dan PKI, hingga yang menggugat lewat Tritura, Malari, Reformasi, dan Amarah Agustus 2025.
Kelak, bila tiba waktunya, Bapak akan tersenyum di hadapan Tuhan bersama semua pahlawan itu, karena janji dan bakti telah ditunaikan sepenuh hati. Amin!(*)
Opini Kemandirian Pangan: Menakar peran Strategis Peternakan |
![]() |
---|
Ketidakadilan Pemantik Kericuhan Sosial |
![]() |
---|
Panggilan Jiwa Presiden Mengisi Perut Rakyat Terus Melaju |
![]() |
---|
Bukan Rapat Biasa, Ini Strategi Cerdas Daeng Manye Mencari 'The Next Top Leader' di Takalar |
![]() |
---|
1 Juni: Pancasila Tetap Luhur, Walau Inter Milan Amburadul |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.