Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Bulu Alauna Tempe dan Kitab Kuning: Orkestra Santri dari Danau Tempe untuk Dunia

Hari pembukaan Musabaqah Qiraatul Kutub Internasional di As’adiyah terasa seperti samudera kecil yang bernafas.

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
PENULIS OPINI - Dosen IAIN Parepare, Muhamad Majdy Amiruddin. Dia menulis tentang Musabaqah Qiraatul Kutub Internasional di Ponpes As’adiyah, Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulsel, 1 – 7 Oktober 2025. 

Danau Tempe bukan hanya sumber pangan, melainkan metafora bagi demokrasi ala Bugis—airnya menampung banyak ikan, banyak perahu, banyak suara. R.A. Kern (1939) menyebut bagaimana kerajaan-kerajaan Bugis memadukan adat dan syariat, sehingga ajaran Islam tidak hadir sebagai benturan, melainkan sebagai sulaman baru di atas kain lama.

Masjid-masjid di tepi danau berdiri berdampingan dengan rumah adat, dan para saudagar membawa kitab bersama dagangan mereka.

Seperti air yang menyusup ke celah tanah, Islam di Wajo meresap ke dalam denyut budaya, hingga lahirlah generasi ulama dan santri yang menggabungkan ilmu, adat, dan etos kerja.

Puncak institusionalisasi ilmu itu lahir pada 1930, ketika Anregurutta Muhammad As’ad (1907–1952) kembali dari Makkah.

Lahir di tanah suci, belajar di Madrasah al-Falah, bahkan sempat menjadi sekretaris Syekh Ahmad Sanusi, beliau membawa semangat tajdid.

Di Sengkang, beliau mendirikan Madrasah Arabiyah Islamiyah—yang kelak dikenal sebagai Pesantren As’adiyah.

Dari danau ia belajar tentang air kehidupan, dari Makkah ia membawa sanad ilmu, dan dari keduanya lahir lembaga yang hingga kini jadi rahim keilmuan Sulawesi. As’adiyah kemudian menjadi mercusuar.

Dari sinilah lahir ribuan ulama, dai, dan guru. Mereka menyebar ke timur Nusantara—Maluku, Nusa Tenggara, Papua, bahkan Malaysia.

Salah satu yang paling berpengaruh adalah Gurutta Abdurrahman Ambo Dalle, murid kesayangan Gurutta As’ad, yang mendirikan Darud Dakwah wal Irsyad (DDI).

Baca juga: Prof Ismail Rektor IAIN Langsa Hadiri MQK di Wajo: Semoga As’adiyah Terus Lahirkan Ulama

Jika As’adiyah adalah mata air, maka DDI adalah sungai yang mengalirkan ilmunya ke seluruh kawasan timur Nusantara.

Inilah bukti bahwa air dan ilmu saling bertaut: danau memberi kehidupan, pesantren memberi pengetahuan.

Sejak awal, As’adiyah juga tidak terisolasi. KH. As’ad lahir di Makkah, berguru pada ulama Haramain, dan mewarisi jejaring ulama Nusantara di Masjidil Haram.

Di sana, ia bertemu dengan murid-murid Syekh Ahmad Khatib Minangkabau—guru yang juga mendidik KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Maka, sanad As’adiyah seirama dengan sanad pesantren Jawa.

Hubungan itu seperti jembatan panjang dari Tebuireng ke Sengkang, dari Lirboyo ke Danau Tempe. Jembatan itu bukan dari besi atau beton, melainkan dari kitab kuning, doa, dan persaudaraan ulama.

Ketika Musabaqah Qiraatul Kutub Internasional kini digelar di As’adiyah, jembatan itu tampak nyata.

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Nikah Massal

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved