Opini
Tepuk Sakinah: Gerakan Kecil yang Menyimpan Makna Besar
Video pendeknya beredar di TikTok, dibagikan ulang di Instagram, diperdebatkan di grup-grup WhatsApp.
Saya melihat “Tepuk Sakinah” justru menyimpan pelajaran penting: betapa perlunya pendekatan kreatif dalam pembinaan keluarga.
Bimbingan perkawinan yang kaku sering membuat peserta jenuh, sementara generasi muda kini tumbuh dengan budaya visual, audio, dan interaksi cepat.
Menghadirkan metode yang menyenangkan bukan berarti menurunkan derajat sakralitas pernikahan, tetapi justru memperkuat pesan agar lebih meresap.
Inilah yang sering luput dibaca oleh mereka yang hanya melihat potongan video tanpa konteks: bahwa kreativitas bukan sekadar gimmick, melainkan strategi edukasi.
Saya membayangkan, andai “Tepuk Sakinah” benar-benar hidup dalam rumah tangga kita: di saat suami-istri mulai emosi, anak-anak remaja mulai keras kepala, ada satu gerakan kecil mengingatkan janji suci yang pernah diucapkan.
Sebuah tepukan ringan yang cukup untuk menghentikan amarah, membuka kembali ruang dialog, menyelamatkan hubungan sebelum retak.
Bukankah itu lebih baik daripada saling diam berhari-hari? Nilai dari tepuk sakinah bukan pada substansinya, melainkan pada pintu yang ia buka.
Ia adalah jembatan kecil menuju hal besar. Kita menertawakan gerakan tangan, tetapi lupa pada pesan yang dibawanya. Kita meremehkan metode, padahal metode itu sedang berusaha menyelamatkan generasi dari perceraian yang semakin tinggi.
Di balik hiruk pikuk komentar netizen, saya melihat ada doa tersembunyi. Doa yang lahir dari kreativitas sederhana para penghulu agama agar pasangan muda lebih siap menghadapi badai rumah tangga.
Doa agar masyarakat mau belajar nilai keluarga sakinah dengan cara yang lebih ringan.
Doa agar setiap rumah tangga tetap kokoh meski hidup di tengah arus digital yang serba cepat. Barangkali tanpa sadar, “Tepuk Sakinah” sedang berdoa dengan caranya sendiri: doa agar pasangan muda menemukan jalan keutuhan, doa agar rumah tangga tidak mudah roboh oleh badai, doa agar janji suci selalu diingat meski lewat gerakan ringan.
Karena pada akhirnya, rumah tangga sakinah tidak dibangun oleh komentar orang, melainkan oleh kesabaran, pengorbanan, dan janji yang ditepati.
Jika sebuah tepukan tangan mampu mengingatkan kita pada itu semua, maka tepukan itu lebih bernilai daripada seribu komentar yang lahir dari jari-jari yang tak tahu konteks.
“Tepuk Sakinah” hanyalah metode, tetapi di baliknya ada makna besar: mengajak kita kembali mengingat tujuan utama pernikahan, yaitu ketenangan, kasih sayang, dan keberkahan.
Ketika layar ponsel dimatikan dan setiap orang kembali ke rumah masing-masing, di situlah “Tepuk Sakinah” sesungguhnya diuji: bukan pada seberapa viral ia di media sosial, tetapi pada seberapa dalam ia bisa membantu menjaga janji dan cinta dalam rumah tangga.
Pencabutan ID Card Reporter CNN di Istana: Ketegangan Antara Akuntabilitas Publik dan Akses Pers |
![]() |
---|
Kuota Haji, Hifz Nafs dan Perdebatan Mens Rea |
![]() |
---|
Prabowo Terjepit di Antara Kelompok Kepentingan |
![]() |
---|
Radio di Tengah Krisis, Peran Strategis Penyiaran pada Peristiwa G30S/PKI 1965 |
![]() |
---|
Koperasi Merah Putih Aeng Batu-Batu: Cerminan Kepemimpinan Visioner Bupati Daeng Manye |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.