Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Siri’ na Pacce sebagai Etos Kerja dalam Konteks Bernegara

Apakah tidak ada narasi yang tepat digunakan dalam menghilangkan praktek-praktek keji dan bodoh tersebut?

|
Editor: Sudirman
Ist
OPINI - A. Tenri Wuleng Mahasiswa Magister Diplomasi Pertahanan, Unhan 

Oleh: A. Tenri Wuleng

Mahasiswa Magister Diplomasi Pertahanan, Unhan

TRIBUN-TIMUR.COM - BEBERAPA hari terakhir masyarakat Indonesia dilanda oleh badai yang cukup dahsyat, badai yang timbul karena amarah, kesedihan, rasa tidak percaya.

Badai yang membakar gedung-gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), fasilitas-fasilitas umum, badai yang tanpa empati dan arogansi menyebabkan korban jiwa berjatuhan.

Bukan tanpa alasan, badai ini hadir atas siklus krisis kepercayaan dari masyarakat akar rumput, masyarakat marginal, dan mereka yang termiskinkan karena praktik-praktik Korupsi, Kolusi, Nepotisme yang telah lama mandarah daging dalam tubuh negara bangsa yang kita cinta ini.

Narasi-narasi yang hadir diberbagai media, dan video-video dari pemangku kebijakan yang arogan dan tanpa empati ramai bersileweran di media social, menimbulkan pertanyaan, apakah mereka tidak punya rasa malu terhadap apa yang telah di ucapkan? Seminim itukah empati pemangku kebijakan di negeri ini?

Apakah arogansi dan kesombongan adalah bukti nyata bahwa minim etika dan nilai adalah wajah masa depan bangs aini?

Apakah tidak ada narasi yang tepat digunakan dalam menghilangkan praktek-praktek keji dan bodoh tersebut?

Ada hal yang bagi penulis cukup lucu namun memprihatinkan di negeri ini, dimana pemimpin-pemimpin negeri ini kerap berteriak soal moral dan krisis nilai, namun setiap hari justru mempertonton korupsi seolah-olah sudah menjadi tradisi turun-temurun.

Kita sibuk merasa manusia paling modern dan berbangga diri atas bahasa-bahasa asing dan kasar setiap harinya yang terlontar seolah sumpah serapah, kita tidak sadar bahwa kita telah tercabut dari akar nilai-nilai yang tidak lagi menjadi pedoman dalam keseharian.

Padahal para leluhur dan nenek moyang telah mengajarkan keseimbangan dan etos tanggung jawab yang berasal dari kearifan local (local wisdom) yang kita miliki.

Siri’ na Pacce, Etos Hidup Masyarakat Celebes

Siri na Pacce/Passe sendiri merupakan pesan-pesan moral yang diyakini oleh masyarakat Bugis-Makassar untuk menata kaidah hidup.

Konsep Siri’ na Pacce dapat kita temukan dalam manuskrip Paseng/Pappaseng yang merupakan karya sastra manusia Bugis-Makassar.

Siri’ na Pacce sendiri berasal dari dua kata, yakni Siri’ (Rasa malu, harga diri, kehormatan dan martabat) dan Pacce’Passe (Pedih/perih) yang berarti empati saat kita melihat orang lain dalam kesulitas serta solidaritas dan persatuan manusia untuk saling membantu dan saling mengasihi.

Sebagai etos hidup masyarakat Bugis-Makassar pada umumnya dan masyarakat Sulawesi secara umum.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bugis-Makassar falsafah Siri’ na Pacce digunakan sebagai prinsip dalam berbicara, bertindak, berprilaku dan mengambil kebijkan, seperti misalnya kata, Siritaji na kitau (karena rasa malulah kita dinamakan manusia), Siritaji Tojeng (rasa malu karena melakukan perbuatan tercela) yang tidak sesuai dengan norma adat, agama dan negara.

Dalam falsafah hidup masyarakat Bugis-Makassar terdapat empat kategori Siri’ yang perlu dipegang untuk disebut sebagai manusia yang bermartabat.

Yakni, Siri’ ripakasiri yang artinya rasa malu yang erat kaitannya dengan harga diri serta kehormatan keluargga. Kedua, siri’ mappakasiri’ yang artinya rasa malu untuk mempermalukan diri serta keluarga.

Ketiga, siri’ tappela’ siri (Makassar) atau siri’ teddeng siri (Bugis) yang artinya berkaitan dengan nilai-nilai kejujuran dan menepati janji dan siapapun yang berani berjanji harus menepati karena jika tidak makai a melukai harga dirinya.

Keempat, siri’ mate siri’ yakni suatu keadaan dimana sesorang tak lagi memilki rasa malu dan keadaan dimana seseorang melanggar harga diri dan kehormatan masyarakatnya.

Falsafah ini bagi penulis masih sangat relevan untuk digunakan jika kita bercerming dari praktik-praktik di negeri ini di mana masyarakat hingga pejabatnya tanpa rasa malu mempertontonkan kebodohan dan tidak mencerminkan nilai-nilai rasa malu, harga diri, dan martabat.

Praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme, yang berulang seolah-olah itu adalah kewajiban. Narasi bahwa “kita tidak kekurangan orang cerdas, kita hanya kekurangan orang jujur” agaknya bagi penulis harus ditambah bahwa “kita kekurangan rasa malu dan martabat sebagai manusia”.

Karena jika rasa malu dan empati hadir dalam setiap praktik kehidupan, agaknya bagi penulis kemiskinan akan berkurang karena pemilik kuasa malu untuk mengambil hal yang bukan milikinya, kekerasan dan perampasan lahan akan hilang karena memposisikan diri sebagai sesama manusia yang sama-sama tidak layak untuk mendapatkan kekerasan atas miliknya, serta kebijakan-kebijakan yang lahir adalah wujud dari kepedulian terhadap sesame, bukan karena kebutuhan/kepentingan kelompok dan individu.

Empati untuk Menjadi Manusia yang Bermakna

Bagi penulis empati adalah wujud tertinggi dari rasa, karena ia hadir karena kepedulian dan kesamaan rasa serta keinginan untuk keluar dari penindasan dan kekerasan tidak manusiawi.

Dengan empati manusia dapat dikatakan sebagai manusia, seperti pada makna kata pace/passe yang berarti pedih. Kita mengalami kepedihan dan rasa sakit saat orang-orang disekitar kita bahkan kerabat kita mendapatkan ketidakadilan.

Harusnya kita juga merasa demikian saat melihat orang-orang disekitar mengalami nasib yang serupa, ketika kemiskinan, ketidaktahuan dan kekerasan structural mengancam keberlansungan hidup manusia lainnya.

Penulis membayangkan berbagai peristiwa-peristiwa pilu dari masyarakat kita yang dimiskinkan oleh kebijakan yang tidak representative. Dari sabang sampai Merauke cerita-cerita piluh hadir setiap harinya dan ia membunuh esensi kemanusiaan itu sendiri.

Di Belu NTT (2023) seorang pria menusuk perutnya karena kelaparan dan tak sanggup membeli beras untuk keluarganya, di Tulungagung (2025) sepasang suami istri tewas bunuh diri karena masalah ekonomi, di Bandung (2025) seorang ibu nekat mengakhiri hidupnya dan dua anaknya karena kesulitan ekonomi dan terlilit utang.

Kasus-kasus ini hanya beberapa dari ratusan bahkan ribuan kasus yang terjadi tiap harinya di negeri ini, ia adalah potret bahwa kekerasan tidak hanya pembunuh yang terlihat, namun kekerasan dapat hadir dalam kebijakan yang diam, sunyi, senyap tanpa suara namun membunuh tanpa harus menyentuh, dan pelakunya adalah mereka-mereka yang memegang kendali dalam membuat dan memutuskan kebijakan.

Cerita-cerita diatas bukanlah fiksi maupun hikayat yang dicerita dan simpan siur dari telingah-keterlingah, ia adalah cermin dan potret masyarakat kita saat ini.

Tragedi diatas lahir karena tekanan ekonomi dan social yang dialami oleh masyarakat kita dari kelompok masyarakat kelas menengah hingga masyarakat kelas bawah.

Peristiwa ini tidak seharusnya hanya dilihat sebagai fenomena dan angin lalu yang hilang tanpa makna, ini adalah alarm keras bahwa masyarakat kita memerlukan perhatian yang serius dari pemerintah.

Dengan Pacce yakni saling mengasihi pemerintah harus hadir tidak hanya dalam bentuk bantuan sembako dan bela sungkawa yang disorot dengan puluhan kamera dan terekam dalam narasi media sebagai pelipur lara.

Pacce harus hadir dari lubuk hati yang paling dalam (empati) terhadap sesame manusia, pacce mesti lahir dalam bentuk kebijakan, dalam bentuk undang-undang, dalam bentuk penegakan hukum yang tidak menyulitkan masyarakat, yang memberi ruang bagi masyarakat untuk sekali lagi bertahan hidup tanpa khawatir bahwa akan mati karena kelapara.

Penulis selalu percaya bahwa manusia itu “baik” dan hingga saat tulisan ini dibuat penulis berpegang teguh bahwa tidak ada menusia yang akan semenah-menah dengan manusia lainnya karena sekali lagi manusia itu “baik”.

Namun sebagai rujukan bagi masyarakat, pemangku kepentingan dan mereka-mereka yang merasa memiliki kekuatan untuk bersuara lebih lantang dalam melahirkan kebijakan-kebijakan yang lebih memperhatikan khalayak hidup masyarakat.

Sebaliknya masyarakat juga harus hadir secara utuh dan sadar penuh bahwa sebaik apapun kebijakan yang lahir dan sebanyak apapun lapangan kerja yang terbuka untuk mengeluarkan negeri ini dari garis kemiskinan, tidak akan tercapai jika gotong royong dan siri’ na pacce tidak menjadi bagian dari “etos kerja” dan nilai hidup bermasyarakat dan bernegara.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Merdekakah Kita? 

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved