Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Bayang-Bayang Kerawanan Sosial di Kota Makassar

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2023 tercatat di angka 83,53, menempatkannya dalam kategori “tinggi”.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Asratillah Direktur Profetik Institute 

Otoritas, dalam pandangan ini, adalah sumber utama pertentangan.

Kota Makassar menjadi panggung aktual bagi teori ini. Di satu sisi terdapat kelompok yang memiliki akses pada otoritas—pemerintah kota, investor besar, dan pengembang properti.

Mereka berada di posisi yang menentukan arah pembangunan, mulai dari tata ruang, proyek reklamasi, hingga perizinan investasi.

Di sisi lain ada kelompok yang terpinggirkan—pedagang kecil yang menggantungkan hidup pada kios-kios tradisional, penghuni permukiman kumuh di bantaran sungai atau pesisir, serta pemuda pengangguran yang hidup dari kerja serabutan.

Kedua kelompok ini bukan sekadar berbeda dalam kepemilikan ekonomi, tetapi berbeda dalam akses terhadap otoritas, siapa yang berhak bersuara, siapa yang diabaikan.

Ketika proyek infrastruktur atau reklamasi pantai digagas tanpa partisipasi masyarakat terdampak misalnya, maka yang terjadi bukanlah pembangunan yang mempersatukan, melainkan pembangunan yang memecah.

Dahrendorf menjelaskan bahwa konflik muncul karena “positions of authority are distributed unequally”—posisi otoritas tidak didistribusikan secara adil.

Dalam kasus Makassar, otoritas atas ruang kota dimonopoli oleh segelintir elite, sementara warga terdampak hanya menerima keputusan.

Yang menarik dari analisis Dahrendorf adalah gagasannya tentang konflik laten dan konflik manifes.

Konflik laten tersembunyi di bawah permukaan: ketidakpuasan pedagang pasar tradisional yang perlahan terdesak oleh mall modern, keresahan penghuni kampung kota yang hidup di bayang-bayang penggusuran, atau kebisuan pemuda pengangguran yang menyimpan rasa tidak berdaya.

Konflik ini bisa berubah menjadi manifes—aksi demonstrasi, bentrokan di lapangan, atau perlawanan simbolik sehari-hari—ketika otoritas yang eksklusif mendorong ketegangan melewati ambang batas.

Dahrendorf juga menawarkan pemahaman bahwa konflik bukanlah anomali, melainkan sesuatu yang normal dan bahkan produktif dalam masyarakat modern.

Konflik adalah tanda bahwa ada distribusi otoritas yang timpang, dan karena itu konflik berfungsi membuka peluang perubahan sosial.

Dalam konteks Makassar, resistensi warga terhadap reklamasi atau proyek infrastruktur tidak bisa hanya dibaca sebagai hambatan pembangunan, melainkan sebagai alarm atas model tata kelola kota yang eksklusif.

Kita melihat bahwa potensi konflik di Makassar akan selalu hadir selama otoritas pembangunan kota belum inklusif sepenuhnya.

Selama warga miskin kota, pedagang kecil, dan pemuda tidak diberi ruang dalam pengambilan keputusan, maka yang tumbuh adalah siklus resistensi, mulai dari protes terbuka hingga bentuk “perlawanan sehari-hari” seperti menolak relokasi, membangun kembali kios yang digusur, atau bahkan sekadar menertawakan aturan yang mereka anggap tidak adil.

Dalam logika ini, pembangunan manusia tidak bisa dilepaskan dari pembangunan politik, siapa yang diberi suara, siapa yang dipinggirkan, dan bagaimana otoritas didistribusikan dalam tubuh kota.

Mencoba Mencari Jalan Keluar

Mencoba mencari jalan keluar dari kerawanan sosial di Makassar tidak bisa dilakukan dengan pendekatan teknokratis semata.

Angka IPM, PDRB per kapita, atau target stunting hanyalah sepotong wajah dari kenyataan yang lebih rumit.

Yang jauh lebih menentukan adalah bagaimana pembangunan manusia diterjemahkan ke dalam kebijakan yang benar-benar menyentuh kehidupan sehari-hari warga.

Di sinilah pemerintah kota memiliki tanggung jawab pertama. Pemerintah tidak cukup hanya merayakan keberhasilan statistik, tetapi harus berani mengakui paradoks yang tersembunyi di balik angka-angka itu.

Ketika pendidikan meningkat tetapi pengangguran pemuda tetap tinggi, pemerintah seharusnya meninjau ulang seluruh kerangka pendidikan dan ketenagakerjaan, menciptakan hubungan yang lebih organik antara sekolah, universitas, dan pasar kerja.

Pendidikan tidak boleh lagi diperlakukan sebagai ruang formal semata, melainkan sebagai jembatan nyata menuju dunia kerja yang relevan.

Tanpa koreksi semacam ini, frustrasi pemuda terdidik akan terus berulang, dan jalanan kota akan tetap menjadi panggung utama ekspresi kekecewaan.

Hal lain yang perlu diakui adalah persoalan gizi dan stunting. Selama ini, isu ini kerap diperlakukan sebagai urusan teknis kesehatan, padahal jauh lebih luas, ia menyentuh persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, hingga akses pangan. 

Pemerintah kota perlu melihat stunting bukan hanya sebagai angka prevalensi yang harus ditekan, melainkan sebagai ancaman bagi keberlanjutan kota.

Generasi yang gagal tumbuh optimal bukan sekadar kerugian medis, tetapi kerugian politik dan ekonomi.

Jika pemerintah serius membangun Makassar sebagai kota unggul, maka investasi terbesar yang harus dilakukan bukan hanya dalam bentuk jalan dan gedung, melainkan dalam tubuh dan otak anak-anak hari ini.

Namun, pemerintah kota tidak bisa bekerja sendirian. Masyarakat sipil memiliki peran krusial dalam mengawal arah pembangunan agar tidak hanya melayani kepentingan elite.

Akademisi, komunitas keagamaan, dan kelompok warga lokal harus berfungsi sebagai ruang kritik, penyedia data alternatif, dan sekaligus penjaga nurani publik.

Ketika ada proyek reklamasi yang mengancam ekosistem pesisir atau penggusuran yang menyingkirkan warga miskin kota, suara masyarakat sipil diperlukan untuk menantang narasi “demi pembangunan” yang sering dijadikan legitimasi tunggal.

Lebih jauh, masyarakat sipil juga bisa menjadi ruang pertemuan antarwarga yang berbeda kelas sosial, membangun solidaritas di tengah jurang ketimpangan.

Dialog semacam ini penting untuk mencegah kecemburuan sosial berubah menjadi konflik terbuka.

NGO, pada saat yang sama, dapat mengambil peran sebagai jembatan antara warga dengan pemerintah.

Di banyak kota lain, NGO terbukti efektif mengisi kekosongan yang ditinggalkan negara.

Mereka melakukan advokasi hukum, menggelar program pemberdayaan ekonomi, hingga menyediakan layanan sosial alternatif.

Dalam konteks Makassar, NGO bisa hadir sebagai pendamping komunitas miskin kota yang sering kali merasa tidak memiliki saluran untuk bersuara.

Mereka juga bisa memfasilitasi pemuda dalam merancang program kreatif yang relevan dengan kebutuhan lokal, sehingga energi pemuda tidak hanya mengalir ke jalanan sebagai amarah, tetapi juga ke ruang-ruang inovasi.

Keberadaan NGO yang independen dan kritis juga akan membantu memastikan bahwa pemerintah kota tidak hanya membangun demi statistik, tetapi demi manusia.

Dengan demikian, jalan keluar dari kerawanan sosial di Makassar bukanlah sekadar daftar program yang bisa ditulis di kertas perencanaan, melainkan proses panjang membangun kepercayaan.

Pemerintah harus berani membuka otoritasnya kepada partisipasi warga, masyarakat sipil harus konsisten menjaga akuntabilitas, dan NGO harus berfungsi sebagai jembatan dan penguat kapasitas warga.

Tanpa aliansi ini, kerawanan sosial akan tetap menjadi bayang-bayang yang mengintai setiap keberhasilan pembangunan manusia.

Makassar mungkin akan terus membanggakan IPM yang tinggi, tetapi di baliknya akan selalu ada potensi api sosial yang siap menyala.

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved