Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Bayang-Bayang Kerawanan Sosial di Kota Makassar

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2023 tercatat di angka 83,53, menempatkannya dalam kategori “tinggi”.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Asratillah Direktur Profetik Institute 

Oleh : Asratillah

Direktur Profetik Institute

TRIBUN-TIMUR.COM - Makassar, sebagai jantung pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia, sering dipuji karena pembangunan manusia yang relatif unggul dibanding daerah lain di Sulawesi Selatan.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2023 tercatat di angka 83,53, menempatkannya dalam kategori “tinggi”.

Angka ini melampaui rata-rata provinsi maupun nasional. Harapan hidup penduduk mencapai lebih dari 71 tahun, rata-rata lama sekolah mendekati 11,6 tahun, dan harapan lama sekolah menyentuh 15 tahun.

Dari kacamata statistik, potret ini menampilkan kemajuan, masyarakat Makassar hidup lebih lama, lebih sehat, dan lebih lama di bangku sekolah.

Namun, di balik angka-angka yang membanggakan, terdapat jejak-jejak rapuh yang membentuk lanskap kerawanan sosial kota. Pertama, masalah pengangguran pemuda terdidik.

Tingkat pengangguran terbuka di Makassar mencapai 7,35 persen pada 2023, dengan dominasi kelompok usia 15–24 tahun.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pendidikan yang relatif maju tidak otomatis bermuara pada pekerjaan.

Seorang lulusan sarjana atau diploma yang gagal menemukan pekerjaan layak, justru menjadi cermin frustrasi sosial.

Energi intelektual yang seharusnya dialirkan ke produktivitas ekonomi, berpeluang tumpah ke jalan-jalan kota dalam bentuk demonstrasi yang kerap berakhir ricuh.

Kedua, masalah stunting dan gizi anak. Prevalensi stunting di Makassar masih berkisar 21–23?lam periode 2022–2023, jauh di atas target nasional sebesar 14 % .

Artinya, meskipun Makassar punya IPM tinggi, generasi mendatang masih dibayang-bayangi ancaman keterbatasan kognitif dan fisik.

Stunting bukan sekadar soal kesehatan, tapi juga batu sandungan yang berpotensi melanggengkan lingkaran kemiskinan antargenerasi.

Anak yang gagal tumbuh optimal akan tumbuh menjadi dewasa dengan produktivitas rendah, terbatas dalam mobilitas sosial, dan akhirnya memperbesar jurang sosial.

Ketiga, kesenjangan ekonomi dan ketimpangan antarwilayah. Gini ratio Makassar berada di angka 0,39–0,40. Kemiskinan absolut memang rendah (sekitar 4,6 % ), tetapi ketimpangan antar-kecamatan terasa tajam.

Kawasan elite seperti Panakkukang atau Tamalanrea menampilkan wajah pertumbuhan kota modern, sementara kecamatan padat seperti Tallo atau Biringkanaya bergulat dengan masalah kemiskinan, permukiman kumuh, dan infrastruktur dasar yang tidak merata.

Di titik inilah kriminalitas kecil, tawuran antarwarga, hingga perebutan ruang publik mudah bersemi.

Keempat, kerentanan gender dan anak. Indeks Pembangunan Gender (IPG) Makassar relatif tinggi, tetapi Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) masih moderat.

Perempuan banyak hadir di dunia pendidikan, tetapi belum signifikan menembus posisi strategis di dunia kerja maupun politik.

Indeks Perlindungan Anak pun berada pada level “cukup baik”, namun laporan kekerasan terhadap anak dan perempuan tetap muncul secara rutin.

Kondisi ini menciptakan paradoks, kesadaran akan hak makin meningkat, tetapi realisasi masih terbatas, sehingga memicu ketegangan sosial berbasis gender.

Kelima, urbanisasi dan tekanan infrastruktur kota. Sebagai magnet migrasi Sulawesi Selatan, Makassar menerima arus pendatang yang terus meningkat.

Pertumbuhan penduduk ini tidak selalu diimbangi dengan layanan dasar memadai. Lahirnya kawasan kumuh baru, tekanan pada ketersediaan air bersih, perumahan, dan sanitasi, menjadi bara dalam sekam.

Dengan demikian, pembangunan manusia di Makassar menghadirkan wajah ganda, satu sisi memantapkan statusnya sebagai kota modern dengan indeks tinggi.

Di sisi lain melahirkan potensi kerawanan sosial berupa pengangguran pemuda, ketimpangan kelas, stunting, kekerasan berbasis gender, dan tekanan urbanisasi.

Tinjauan Teoritik atas Potensi Kerawanan Sosial

Dalam “Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1979)”, Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa ketidaksetaraan tak hanya lahir dari modal ekonomi, tapi juga dari modal budaya, sosial, dan simbolik.

Di Makassar, peningkatan angka rata-rata lama sekolah (modal budaya) tak otomatis mengantar pemuda pada pekerjaan (modal ekonomi).

Habitus pemuda terdidik terbentuk oleh keyakinan bahwa sekolah adalah tiket mobilitas, tetapi ketika tiket itu tidak berlaku di pasar kerja, lahirlah frustrasi sosial.

Habitus yang kecewa ini menemukan saluran ekspresinya dalam demonstrasi, aksi jalanan, hingga konflik horizontal di lingkungan kampus atau jalan raya.

Namun, untuk memahami kedalaman persoalan ini, Bourdieu mengingatkan kita pada mekanisme konversi modal.

Modal budaya—ijazah, keterampilan akademik, bahkan cara berbicara yang “berpendidikan”—baru bermakna bila berhasil dikonversi menjadi modal ekonomi (pekerjaan, pendapatan, jaminan sosial).

Jika mekanisme konversi ini macet, maka yang muncul adalah paradoks pembangunan manusia, pendidikan meningkat, tetapi pengangguran tetap tinggi. Inilah yang mungkin terjadi di Makassar.

Lebih jauh, Bourdieu dalam “The Forms of Capital” (1986) menekankan bahwa modal sosial—jaringan, relasi, keanggotaan kelompok—sering kali lebih menentukan akses kerja dibanding ijazah semata.

Di Makassar, pemuda dari keluarga kelas menengah bisa saja punya jejaring birokrasi atau akses politik lebih mudah menembus pasar kerja formal, sementara pemuda dari keluarga miskin kota, meskipun sama-sama terdidik, tetap tersisih.

Hasilnya adalah ilusi meritokrasi, seakan-akan semua orang punya kesempatan yang sama karena pendidikan, padahal realitasnya kesempatan itu dipilah oleh jaringan sosial dan status keluarga.

Bourdieu juga menggunakan konsep “field” (ranah). Dunia kerja di Makassar adalah sebuah “field” tempat modal-modal itu dipertarungkan.

Pemuda dengan modal budaya tinggi (sarjana baru, lulusan vokasi) masuk ke arena ini dengan keyakinan (illusio) bahwa ijazah adalah tiket.

Namun ketika “rules of the game” di pasar kerja lebih mengutamakan koneksi atau pengalaman daripada ijazah, maka mereka sadar tiket itu tidak berlaku, ketegangan ini akan menjelma dalam bentuk frustrasi kolektif. 

Lebih ironis lagi, modal simbolik—citra, status, pengakuan sosial—sering kali lebih menentukan dibanding keterampilan nyata.

Seseorang yang datang dari keluarga terpandang bisa lebih mudah dipercaya untuk mengisi posisi tertentu, meski kualitasnya sama dengan orang lain.

Maka, pembangunan manusia dalam bentuk IPM yang menekankan rata-rata lama sekolah dan harapan hidup seringkali menyembunyikan realitas bahwa distribusi modal simbolik dan sosial masih timpang.

Lain halnya jika kita meminjam gagasan Ralf Dahrendorf. Dalam Class and Class Conflict in Industrial Society (1959), menekankan bahwa konflik sosial lahir bukan semata dari distribusi kekayaan, tetapi dari distribusi otoritas.

Bagi Dahrendorf, masyarakat modern bukanlah ruang yang harmonis, melainkan arena penuh ketegangan antara mereka yang memiliki kekuasaan membuat aturan dan mereka yang tunduk pada aturan itu.

Otoritas, dalam pandangan ini, adalah sumber utama pertentangan.

Kota Makassar menjadi panggung aktual bagi teori ini. Di satu sisi terdapat kelompok yang memiliki akses pada otoritas—pemerintah kota, investor besar, dan pengembang properti.

Mereka berada di posisi yang menentukan arah pembangunan, mulai dari tata ruang, proyek reklamasi, hingga perizinan investasi.

Di sisi lain ada kelompok yang terpinggirkan—pedagang kecil yang menggantungkan hidup pada kios-kios tradisional, penghuni permukiman kumuh di bantaran sungai atau pesisir, serta pemuda pengangguran yang hidup dari kerja serabutan.

Kedua kelompok ini bukan sekadar berbeda dalam kepemilikan ekonomi, tetapi berbeda dalam akses terhadap otoritas, siapa yang berhak bersuara, siapa yang diabaikan.

Ketika proyek infrastruktur atau reklamasi pantai digagas tanpa partisipasi masyarakat terdampak misalnya, maka yang terjadi bukanlah pembangunan yang mempersatukan, melainkan pembangunan yang memecah.

Dahrendorf menjelaskan bahwa konflik muncul karena “positions of authority are distributed unequally”—posisi otoritas tidak didistribusikan secara adil.

Dalam kasus Makassar, otoritas atas ruang kota dimonopoli oleh segelintir elite, sementara warga terdampak hanya menerima keputusan.

Yang menarik dari analisis Dahrendorf adalah gagasannya tentang konflik laten dan konflik manifes.

Konflik laten tersembunyi di bawah permukaan: ketidakpuasan pedagang pasar tradisional yang perlahan terdesak oleh mall modern, keresahan penghuni kampung kota yang hidup di bayang-bayang penggusuran, atau kebisuan pemuda pengangguran yang menyimpan rasa tidak berdaya.

Konflik ini bisa berubah menjadi manifes—aksi demonstrasi, bentrokan di lapangan, atau perlawanan simbolik sehari-hari—ketika otoritas yang eksklusif mendorong ketegangan melewati ambang batas.

Dahrendorf juga menawarkan pemahaman bahwa konflik bukanlah anomali, melainkan sesuatu yang normal dan bahkan produktif dalam masyarakat modern.

Konflik adalah tanda bahwa ada distribusi otoritas yang timpang, dan karena itu konflik berfungsi membuka peluang perubahan sosial.

Dalam konteks Makassar, resistensi warga terhadap reklamasi atau proyek infrastruktur tidak bisa hanya dibaca sebagai hambatan pembangunan, melainkan sebagai alarm atas model tata kelola kota yang eksklusif.

Kita melihat bahwa potensi konflik di Makassar akan selalu hadir selama otoritas pembangunan kota belum inklusif sepenuhnya.

Selama warga miskin kota, pedagang kecil, dan pemuda tidak diberi ruang dalam pengambilan keputusan, maka yang tumbuh adalah siklus resistensi, mulai dari protes terbuka hingga bentuk “perlawanan sehari-hari” seperti menolak relokasi, membangun kembali kios yang digusur, atau bahkan sekadar menertawakan aturan yang mereka anggap tidak adil.

Dalam logika ini, pembangunan manusia tidak bisa dilepaskan dari pembangunan politik, siapa yang diberi suara, siapa yang dipinggirkan, dan bagaimana otoritas didistribusikan dalam tubuh kota.

Mencoba Mencari Jalan Keluar

Mencoba mencari jalan keluar dari kerawanan sosial di Makassar tidak bisa dilakukan dengan pendekatan teknokratis semata.

Angka IPM, PDRB per kapita, atau target stunting hanyalah sepotong wajah dari kenyataan yang lebih rumit.

Yang jauh lebih menentukan adalah bagaimana pembangunan manusia diterjemahkan ke dalam kebijakan yang benar-benar menyentuh kehidupan sehari-hari warga.

Di sinilah pemerintah kota memiliki tanggung jawab pertama. Pemerintah tidak cukup hanya merayakan keberhasilan statistik, tetapi harus berani mengakui paradoks yang tersembunyi di balik angka-angka itu.

Ketika pendidikan meningkat tetapi pengangguran pemuda tetap tinggi, pemerintah seharusnya meninjau ulang seluruh kerangka pendidikan dan ketenagakerjaan, menciptakan hubungan yang lebih organik antara sekolah, universitas, dan pasar kerja.

Pendidikan tidak boleh lagi diperlakukan sebagai ruang formal semata, melainkan sebagai jembatan nyata menuju dunia kerja yang relevan.

Tanpa koreksi semacam ini, frustrasi pemuda terdidik akan terus berulang, dan jalanan kota akan tetap menjadi panggung utama ekspresi kekecewaan.

Hal lain yang perlu diakui adalah persoalan gizi dan stunting. Selama ini, isu ini kerap diperlakukan sebagai urusan teknis kesehatan, padahal jauh lebih luas, ia menyentuh persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, hingga akses pangan. 

Pemerintah kota perlu melihat stunting bukan hanya sebagai angka prevalensi yang harus ditekan, melainkan sebagai ancaman bagi keberlanjutan kota.

Generasi yang gagal tumbuh optimal bukan sekadar kerugian medis, tetapi kerugian politik dan ekonomi.

Jika pemerintah serius membangun Makassar sebagai kota unggul, maka investasi terbesar yang harus dilakukan bukan hanya dalam bentuk jalan dan gedung, melainkan dalam tubuh dan otak anak-anak hari ini.

Namun, pemerintah kota tidak bisa bekerja sendirian. Masyarakat sipil memiliki peran krusial dalam mengawal arah pembangunan agar tidak hanya melayani kepentingan elite.

Akademisi, komunitas keagamaan, dan kelompok warga lokal harus berfungsi sebagai ruang kritik, penyedia data alternatif, dan sekaligus penjaga nurani publik.

Ketika ada proyek reklamasi yang mengancam ekosistem pesisir atau penggusuran yang menyingkirkan warga miskin kota, suara masyarakat sipil diperlukan untuk menantang narasi “demi pembangunan” yang sering dijadikan legitimasi tunggal.

Lebih jauh, masyarakat sipil juga bisa menjadi ruang pertemuan antarwarga yang berbeda kelas sosial, membangun solidaritas di tengah jurang ketimpangan.

Dialog semacam ini penting untuk mencegah kecemburuan sosial berubah menjadi konflik terbuka.

NGO, pada saat yang sama, dapat mengambil peran sebagai jembatan antara warga dengan pemerintah.

Di banyak kota lain, NGO terbukti efektif mengisi kekosongan yang ditinggalkan negara.

Mereka melakukan advokasi hukum, menggelar program pemberdayaan ekonomi, hingga menyediakan layanan sosial alternatif.

Dalam konteks Makassar, NGO bisa hadir sebagai pendamping komunitas miskin kota yang sering kali merasa tidak memiliki saluran untuk bersuara.

Mereka juga bisa memfasilitasi pemuda dalam merancang program kreatif yang relevan dengan kebutuhan lokal, sehingga energi pemuda tidak hanya mengalir ke jalanan sebagai amarah, tetapi juga ke ruang-ruang inovasi.

Keberadaan NGO yang independen dan kritis juga akan membantu memastikan bahwa pemerintah kota tidak hanya membangun demi statistik, tetapi demi manusia.

Dengan demikian, jalan keluar dari kerawanan sosial di Makassar bukanlah sekadar daftar program yang bisa ditulis di kertas perencanaan, melainkan proses panjang membangun kepercayaan.

Pemerintah harus berani membuka otoritasnya kepada partisipasi warga, masyarakat sipil harus konsisten menjaga akuntabilitas, dan NGO harus berfungsi sebagai jembatan dan penguat kapasitas warga.

Tanpa aliansi ini, kerawanan sosial akan tetap menjadi bayang-bayang yang mengintai setiap keberhasilan pembangunan manusia.

Makassar mungkin akan terus membanggakan IPM yang tinggi, tetapi di baliknya akan selalu ada potensi api sosial yang siap menyala.

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved